(Volume 2) Chapter 4.

59 6 0
                                    

Berjam-jam berlalu hingga akhirnya kami sampai di ibu kota kekaisaran. Kota Alexandria, merupakan jalur utama kekaisaran Fomalhaut, setiap orang—baik itu masuk atau keluar— harus melewati kota ini.

Kondisi impor dan ekspor yang terjadi di kota, serta keluar-masuk berbagai orang dari seluruh penjuru dunia, membuat kota Alexandria menjadi jauh lebih modern dari kota-kota lain di Kekaisaran. Mulai dari kultur, budaya, adat, varian ras, dan kuliner akan terasa seperti sedang berada di dunia lain.

Termasuk juga denganku.

Sebelumnya aku berfikir bahwa dunia tempat tinggalku ini berada di zaman abad pertengahan, yang dimana semuanya masih bersistem monarki konstitusional, belum ada teknologi canggih, ataupun kultur yang maju.

Nyatanya disini tidak seperti itu. Aku sudah beberapa kali melihat orang menggunakan ponsel smartphone, kereta bertenaga listrik, tihang rambu lalu lintas, lampu menerang jalan, dan lain sebagainya yang pernah aku temukan di bumi.

Selain itu, bahasa yang mereka gunakan sedikit berbeda, meski beberapa dari mereka tetap mempertahankan bahasa resmi, aku tetap merasa bahasa yang mereka gunakan jauh berbeda dengan yang biasa aku dengar.

"Apa anda ingin beristirahat dulu di sini, Yang Mulia Pangeran?"

"Apa itu boleh?" tanyaku.

Anastasia mengangguk. "Meski akan berpengaruh terhadap keterlambatan kedatangan kita, tapi kurasa itu tak apa, lagi pula kita tidak sedang buru-buru, kan."

Kami memutuskan untuk singgah sebentar di kota ini. Setelah kereta diparkirkan, kami pun turun.

Sungguh, baru saja aku turun aku sudah merasa atmosfer yang berbeda masuk ke hidungku. Benar-benar, kota ini terasa seperti dunia lain.

Kami jalan-jalan bertiga; Aku, Anastasia, dan Itharva sebagai pengawal.

"Kota ini terkenal dengan kemajuan teknologinya, loh," tutur Anastasia, dan itu memang fakta.

Lihat saja semua yang ada di kota ini sangatlah modern dibandingkan dengan kota-kota yang pernah aku kunjungi.

Kami pergi ke toko cendramata, kata Anastasia, cendramata di kota ini cukup lengkap dan cantik-cantik. Setelah menemukan tokonya kami langsung masuk dan memastikannya apakah hal itu benar.

"Wah...," aku terkagum. Benar, ternyata cendramata disini begitu indah dan unik.

Ada berbagai macam cendramata yang di hadirkan, dari mulai yang sederhana terbuat dari cangkang kerang, tulang, kayu, dan batu, hingga yang mahal, terbuat dari bahan batu berwarna-warni dan benda-benda lainnya yang cocok menjadi cendramata.

Entah mengapa melihat cendramata disini aku malah teringat dengan para karakter novel. Seolah dibuat sengaja untuk mereka.

"Bagaimana dengan ini." Satu cendramata menarikku untuk mencocokkannya dengan Itharva. Sebuah batu berwarna ungu.

"Itu indah, Yang Mulia," jawab Itharva.

"Ini, untukmu." Aku menyodorkannya kepada Itharva.

"Eh?"

"Itu indah, apalagi sangat cocok denganmu," ucapku.

Mendengar itu, Itharva menerimanya dengan anggukan. Entahlah apa maksudnya.

"Dan ini untukmu," ucapku menyodorkan satu cendramata berbentuk Jasmine kepada Anastasia.

"Eh, untuk Aku?" Anastasia tampak antusias menerima cendramata yang aku berikan.

"Terimakasih kasih."

Setelah itu aku langsung membayar cendramata yang telah aku beli. Oh iya, aku juga membeli beberapa untuk yang lainnya; untuk Leoni, Raiyen, dan Arion. Kurasa mereka akan menyukainya.

Kedirajaan AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang