Jamie ketiduran di ruang studio pasca merampungkan pembuatan sebuah sweater. Dirajutnya sejak beberapa bulan lalu secara sembunyi-sembunyi di sela-sela kesibukannya manggung. Dibuat Jamie khusus untuk sang istri yang berulang tahun nanti malam. Ia berguru crocheting pada Sheila demi membuat kado yang berkesan untuk Anggi. Hanya Sheila yang tahu soal ini. Ia sengaja meminta Sheila untuk tak memberitahu yang lain, terutama Kevin dan Joan. Selain karena Jamie enggan diejek oleh dua cecunguk itu, juga demi menjaga kerahasiaannya dari Anggi. Joan dan Kevin kerap kali keceplosan ketika dilibatkan dalam pembuatan kejutan. Makanya setelah Jamie menunjukkan hasil rajutannya yang baru setengah jadi kepada Sheila seminggu lalu, Jamie meminta Sheila untuk tetap merahasiakan hal tersebut.
Suara derit pintu mengusik Jamie dari tidur. Jamie terperanjat dan beringsut menyembunyikan sweater ke balik punggung. Namun, begitu menyadari yang masuki ruangan adalah Sheila, Jamie pun bernapas lega. Ia bergerak mendudukkan diri, mengangsurkan hasil ketekunannya selama beberapa bulan itu kepada Sheila yang duduk di sisinya. Sheila mengangguk-angguk bangga sambil meneliti detail sweater kombinasi benang cokelat dan putih. Tampak lucu dengan motif bunga dan bentuk hati. Akan sangat cantik jika dipakai Anggi yang badannya mungil.
"Bagus banget lho, Jamet. Anggi pasti bakal naksir berat sama sweater ini."
Kendati muka Jamie tampak kusut masai karena kurang tidur, tetapi antusiasme tetap menyala di mata sayunya. Lelaki itu senyum jumawa sembari menyugar rambut poni yang jatuh berantakan menutupi kening. "Jelas. Tapi senaksir-naskirnya dia sama ini sweater, pasti bakal lebih naksir sama yang bikinnya," canda Jamie yang direspons dengkusan geli oleh Sheila. Sejurus kemudian Jamie menatap ke balik bahu Sheila. "Lo ke sini gak ada yang ngikutin kan, Shei?"
"Aman. Kevin sama Joan lagi keluar."
"Ke mana?"
"Ambil cake pesenan lo ke temennya nyokap Joan. Soalnya beliau bilang udah nelepon lo tapi nggak diangkat. Terus gue ke sini tadinya mau cek lo lagi ngapain, eh ternyata lagi molor. Makanya barusan gue nyuruh Joan sama suami gue aja yang pergi, Jam."
Jamie lekas merogoh ponsel dalam saku celana. "Pantes, hp gue mati." Tidak Jamie cas, malah dimasukkan kembali. "Thanks, Shei. Ngerepotin dah gue jadinya." Jamie menyambut sweater yang disodorkan Sheila, lalu melipatnya perlahan dan kemudian dimasukkannya ke box hitam berhias pita warna emas, bikin tampilannya kelihatan mewah. Ia memandangnya sebentar, menyungging senyum puas.
"Sans kali. Biasanya juga ngerepotin."
"Jujur amat, Shei."
"Lagian, lo sok sungkan segala. Tapi mereka pergi pake mobil lo soalnya sekalian ke market store. Mobil gue baru dicuci, Kevin sayang pakenya. Sayang bensin juga," kelakar Sheila.
"Kek orang susah aja, anjir."
"Lagi menghemat dia, Jam. Dia tau ke depannya harus punya lebih banyak duit buat biaya sekolah anak yang makin hari makin gila nominalnya."
Jamie terkekeh. Ditaruhnya box itu ke meja. Atensi Jamie kemudian terfokus ke Sheila. Ada sedikit masalah yang ingin Jamie bagi pada sang sahabat. "Gue salah enggak sih kalau ngerasa kecewa karena Anggi nyembunyiin sesuatu dari gue? Sebulan terakhir dia rutin pergi ke Psikiater lagi, tapi gue sama sekali enggak dikasih tau, Shei."
Mata Sheila membulat kaget barang sebentar. "Anggi kenapa?" bisiknya.
"Kayak dulu, anxiety."
Sheila manggut-manggut, turut sedih mendengar kabar tersebut. "Kok bisa, sih? Lo makanya jangan banyak gaya, Jamet. Kasian Anggi pasti kepikiran."
"Gue ngapain, dah?" Jamie menunjuk hidung sendiri. Tunjukkan ekspresi keberatan. "Belakangan gue kan udah tobat." Dia sengaja berpura-pura tidak tahu perihal sesuatu yang jadi trigger kesehatan mental istrinya terganggu lagi. Sebab tentang tragedi yang Anggi alami, soal pamannya yang sialan itu, tidak ada yang tahu selain Kemuning dan diri Jamie sendiri. Maka di sesi curhatnya kali ini, Jamie harus amat berhati-hati dalam memilih kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Take a Chance With Me
Fanfiction"Kita udah pernah nyoba sekali, lalu kita berakhir gagal. Tapi ternyata di antara mereka yang datang ke hidup aku dan kemudian memilih pergi meninggalkan, aku masih berharap kamu jadi satu-satunya yang datang untuk kemudian menetap. Nggi, mau nggak...