Suasana back stage cukup ramai kala Anggi masuk ke sana. Begitu ia lihat Sheila duduk seorang diri pada satu sofa sambil memainkan ponsel, Anggi menghampirinya. Di stage, Nayanika sedang menampilkan lagu terakhir, makanya Anggi melipir ke belakang, ingin sambut Jamie yang kelelahan.
Merasakan ruang kosong di sisinya memberat, Sheila refleks menoleh. Senyumnya seketika mengembang begitu menemukan eksistensi Anggi. Ponsel lekas ia masukkan ke tas, lalu menyapa Anggi dengan ceria, "Cielah, pengantin baru." Kekehan Sheila lolos selagi ia menepuk-nepuk paha Anggi.
"Bumil makin cantik aja, kayaknya sih bakal cewek baby-nya," kelakar Anggi.
"Aamiin, semoga beneran cewek, biar Kevin makin pusing punya dua Sheila di rumah." Sheila tergelak. Sekadar hadirkan bayangannya saja sudah bikin Sheila puas—bayangan wajah frustrasi Kevin kala menghadapi dua entitas yang suka tantrum tidak jelas.
"Mana ada dia bakal pusing," sanggah Anggi. "Kevin kayaknya justru bakal seneng, soalnya permata dia jadi dua."
Sheila mengerutkan hidung, berlagak terharu. Jatuh pipi kanannya ke bahu kiri Anggi. Di bawah, Sheila tak lupa menggamit lengan perempuan itu. "Gue kalau jadi cowok pasti naksir lo deh, Nggi. Naksir banget. Naksir yang sampe ngemis-ngemis ke Tuhan biar kita jodoh." Sheila tertawa kecil. "He is so lucky by having you as his wife."
Anggi tidak yakin Jamie seberuntung itu hanya karena mendapatkannya. Mungkin, justru mungkin Jamie tidak beruntung sama sekali. "Enggak, Shei. Aku yang beruntung dapetin dia. Dia famous banget, banyak yang mau ke dia, tapi di antara banyak perempuan yang mau ke dia, dia malah pilih aku. Padahal aku tuh banyak kurangnya."
Punggung Sheila kontan menegak. Ia menatap Anggi keberatan. "Apaan sih, Nggi? Jangan ngomong gitu, nanti si Jamet gede kepala. Dia modal famous doang tapi kelakuan kayak Jamet, gak ada bagus-bagusnya dia, tuh." Dengan sepenuh hati Sheila menjelek-jelekan temannya, lantaran tahu sekali Anggi memang kurang percaya diri perihal Jamie. Padahal di mata Sheila yang telah berkawan dengan Jamie sejak SMA, Anggi merupakan perempuan terbaik yang dapat Jamie temukan.
"Jamet gitu yang naksir doi banyak, Shei," canda Anggi sambil tergelak.
Sheila dengan tampang keberatan terpaksa mengangguk, tak sanggup menampik fakta tersebut. Akan tetapi
dari sekian perempuan yang pernah dekat dengan Jamie, Anggi menjadi satu-satunya yang diajak pacaran, bahkan sampai ke jenjang seserius pernikahan. Terlepas dari Jamie yang amat brengsek di masa lalu kepada perempuan itu, Sheila yakin Jamie menganggap Anggi amat berharga. "Jamie tuh bangga banget punya lo as his wife, Nggi. Pede, dong. Lo dicintai cowok yang jadi first love ciwi-ciwi se-Indonesia, harus bangga, karena artinya diri lo yang sering lo pandang sebelah mata ini sejatinya keren abis."Tuh, kan. Sejak pertama kali bertemu dengan Sheila, hingga waktu empat tahun menyeret keduanya ke masa ini, Anggi sungguh tak bisa menaruh rasa benci pada perempuan itu. Tidak ada celah untuk tak menyukai Sheila. Satu-satunya hal tak menyenangkan tentang Sheila adalah, dia merupakan perempuan yang pernah dimau Jamie dengan sepenuh hati. Pernah, atau mungkin masih? Entahlah. Hanya itu. Salah yang sejatinya tak salah. Anggi merasa amat hina jika menjadikan alasan tersebut untuk benci Sheila.
"Am I, Shei?"
"What?"
"Deserve him?"
Sheila menipiskan bibir, greget. "Nggi, more than deserve. Kebagusan malah. Lo kebagusan buat Jamie," tegasnya.
Melihat sisi dari diri Sheila yang ini, Anggi seakan dihadapkan pada sosok Kevin. Baik Kevin atau Sheila, pandai sekali memuji-muji, mengokohkan kepercayaan diri orang lain. Anggi menyungging senyum, lantas balas menepuk-nepuk paha Sheila. Fokus Anggi turun ke perut Sheila, menatap baby bump yang kentara di balik kaos putih yang Sheila kenakan. "Gimana rasanya mengandung, Shei?" tanya perempuan itu, masih dengan tatap mengarah ke perut Sheila, lekat-lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Take a Chance With Me
Fanfic"Kita udah pernah nyoba sekali, lalu kita berakhir gagal. Tapi ternyata di antara mereka yang datang ke hidup aku dan kemudian memilih pergi meninggalkan, aku masih berharap kamu jadi satu-satunya yang datang untuk kemudian menetap. Nggi, mau nggak...