23. Remember

629 85 37
                                    

Alih-alih sungguhan melampiaskan kesedihan pada minuman beralkohol, Jamie lebih memilih pulang. Lagipula melupakan Anggi sebentar di bawah pengaruh alkohol tak akan membuat Jamie merasa lebih baik. Masalah itu tetap di sana, bakal kembali menjerat Jamie setelah kesadarannya pulih. Ah, di saat seperti ini, pulang pada Anggi memang yang terbaik. Sekalian saja ia rengkuh semua duri-duri tidak kasat mata yang tumbuh di seluruh badan Anggi, yang bakal menusuk Jamie tiap kali Jamie memeluk perempuan itu. Jamie akan membiarkan diri remuk total di bawah karma ini. Lantaran melepaskan tidak mampu, bertahan hampir hancur. Terserahlah, Jamie hanya akan mengikuti dengan pasrah ke mana pun jalinan takdir menarik tali yang mengikat kuat lehernya. Di akhir, semoga Jamie tidak tercekik.

Dengan sebuket bunga mawar merah di genggamannya, Jamie menaiki satu demi satu anak tangga menuju teras rumahnya. Biasanya ia akan menekan bel, lantas menunggu Anggi membuka pintu. Namun, kali ini lelaki itu bawa kunci cadangan. Sengaja mau berikan kejutan. Ia perlahan-lahan membuka pintu, amat hati-hati biar tidak cipta suara yang bisa membuat Anggi sadar akan kehadirannya. Begitu memasuki rumah, kesunyian menyambut Jamie. Laju kaki Jamie mengarah ke kamar, tetapi baru sampai di ambang pintu yang menyekat ruang tamu dan ruang keluarga, langkah Jamie berhenti. Ia samar-samar mendengar suara, maka seperti orang yang tengah main hide and seek, Jamie mengintip sedikit ke dalam. Ia yakin suara pelan itu adalah tawa yang ditahan, tetapi mata Jamie justru malah menemukan kepiluan.

Jamie tercekat melihat banyak lembar foto berserakan di lantai, sebagiannya disobek. Foto-foto yang pernah Jamie simpan di album pernikahannya. Lalu tatapan Jamie bergeser lebih jauh, ke Anggi yang duduk dengan punggung menyandar pada badan depan sofa. Duduk memeluk lutut. Tawanya yang tadi mengudara kini berganti menjadi tangis memilukan. Jamie tertegun, tak menyangka Anggi hancur sebegininya.

Tubuh Jamie merosot ke lantai, jatuh terduduk. Seketika kosong isi kepala lelaki itu. Meredup binar di matanya. Buket bunga terlepas dari genggaman, tak sampai kepada yang tercinta. Layu seperti jiwa Jamie. Sekarang, dalam kebisuan yang menjeritkan nelangsa, ia mendengarkan betapa hancurnya Anggi di belakang sana. Suara tangis Anggi yang pekat akan keputusasaan, memukul telak kesadaran Jamie, tak tanggung-tanggung meluluhlantakan seisi dadanya. Jamie ingin mendekat demi rengkuh raga ringkih itu, tetapi Jamie menyadari jika peluknya hanya akan melukai Anggi lebih dalam lagi.

Sementara itu di dalam sana, isakan Anggi berangsur reda. Tangan Anggi yang gemetar samar meraih ponsel di atas meja. Dihubunginya Kemuning. Tidak butuh waktu lama sambungan pun terhubung. "Aku mau pulang ...." Adalah kalimat pertama yang Anggi lontarkan sebelum Kemuning sempat menuntaskan sapaan. "Aku gak bisa lagi, Ning. Aku udah nyoba segalanya buat balikin ingatan, tapi nggak bisa."

Semakin banyak usaha yang Anggi dan Jamie lakukan untuk menggali kenangan, semakin sering pula Anggi melihat tatapan sedih Jamie lantaran Anggi tak kunjung mampu mengingat. Anggi tak lagi kuat menanggung rasa bersalah ini. Anggi tertekan, rasanya sesak. Malam ini perempuan itu coba sekali lagi meraba-raba memori lewat album foto pernikahannya. Berusaha sekuat tenaga menarik kilas kejadian yang mengendap di bagian terdalam ingatan. Namun, semakin berusaha, malah semakin kuat rasa bersalah menghimpit dadanya. Anggi muak, berakhir menarik lepas foto-foto di album tersebut dengan kasar. Anggi sobek beberapa di sela-sela tawanya yang terdengar putus asa. Tidak bisa lagi. Tidak mau lagi. Ia ingin segera mengakhiri situasi menyesakkan ini.

Anggi ingin pergi. Enggan lagi melihat mata Jamie yang menatapnya sendu.

"Aku nggak bisa terus di sini dan bikin dia sedih. Perhatian yang Jamie kasih malah bikin aku nyakitin diri sendiri. Aku maksa diri untuk inget, tapi gak bisa. Gimana kalau sampai akhir aku gak bisa mengingat dia?" bisik Anggi. "Gimana kalau di akhir aku hancurin binar penuh harap di mata dia, Ning? Aku ... meski aku nggak inget dia, tapi aku enggak suka lihat Jamie kecewa. Kalau aku pergi sekarang, luka kami nggak akan terlalu dalam kan, Ning?"

[✓] Take a Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang