Orang-orang bilang balikan dengan mantan itu sama seperti membaca ulang buku, ketahuan ending-nya. Akhir tragis akan tetap tragis. Kata terakhir di halaman terakhir tidak akan berubah. Namun, di sinilah Anggi, melakukan yang kata mereka hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.
Anggi membaca ulang satu buku yang sama, berharap ada halaman terlipat yang dulu tak sengaja terlewat. Anggi memberi Jamie kesempatan untuk membuktikan kata-katanya, di saat bersamaan Anggi mencipta peluang untuk kembali dihancurkan. Bukan tak belajar dari pengalaman, hanya saja masa depan sungguh abu-abu untuk diraba. Jika sekarang Anggi lancang ambil kesimpulan, menutup semua celah kemungkinan, mutlak anggap Jamie tak akan berubah—bisa jadi Anggi menyesal di kemudian hari.
Bagaimana jika sugesti yang Anggi hantamkan ke kepala sendiri perihal Jamie akan menyuguhkan luka lagi ke atas tangan yang Anggi tengadahkan, justru tak terjadi? Justru sebaliknya, ternyata di masa depan Jamie bakal menggenggam tangan perempuan itu?
Ya, segala hal mungkin terjadi dalam keabu-abuan masa depan. Karena itu, Anggi sudi berikan Jamie kesempatan.
"Malah ngelamun, Yang."
Anggi yang duduk di depan meja rias sontak menoleh. Bajingan itu, Anggi refleks memaki dalam hati lantaran Jamie—lelaki yang siang tadi resmi jadi suaminya—keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi bagian bawah tubuh. Bulir-bulir air mengalir dari dada ke area perutnya yang membentuk enam susunan kotak, tampak keras. Anggi mendengkus, tahu sekali Jamie mau pamer perut bagusnya itu. Perut yang sudah ditonton banyak orang. Fyi, Jamie hobi buka-bukaan saat konser.
Menyebalkan.
Anggi diam-diam mengembuskan napas panjang, mati-matian kontrol debaran jantungnya. Tapi sial, detak di dalam sana malah semakin cepat saat dari belakang, Jamie memeluknya.
"Dilap dulu dong badan kamu yang oke banget itu," sindir Anggi yang disambut kekehan oleh sang suami. "Bajuku ikutan basah, nih." Perempuan itu menggerutu, menatap jutek mata Jamie yang dilihatnya pada cermin.
Jamie mengeratkan pelukan pada sepanjang garis bahu Anggi, lantas mengendus-endus ceruk lehernya. Jamie suka wangi perempuan ini, suka halus kulitnya, suka aroma yang menguar dari rambut sebahunya. Ia suka pada semua hal yang ada pada Anggi. Rupa cantik yang memanjakan mata, badan kecil yang pas dalam rengkuhan, bibir mungil yang manis dan lembut ketika dipagut, dan yang paling utama; Anggi mencintainya. Mendapatkan Anggi adalah sebuah kemenangan bagi Jamie. Ke depannya, Jamie harap dirinya mampu untuk menghargai kemenangan tersebut tanpa bayang-bayang penyesalan.
"Aku suka rasa jeruk," bisik Jamie, lalu menjatuhkan dagu ke bahu kiri Anggi. Ia menatap ke depan, pada pantulan wajah sang istri di cermin. Jamie ulas senyum tipis kala dapati kernyitan di kening perempuannya. Jamie usap kerutan tersebut dengan gerakan lembut. "Kenapa bingung banget kayaknya?" Lelaki itu terkekeh.
"Bingung dikit," kata Anggi. "Tiba-tiba bilang suka rasa jeruk, konteksnya?"
"Lipbalm." Jamie menyeringai.
Oh, Anggi mengerti. "Nih."
Jamie menggeleng manja. "Bukan aku yang pake, kamulah." Jemari lelaki itu mengusap bilah bawah bibir Anggi. "Di sini, Yang. Nanti aku cobainnya di sini."
"Orang gila," cibir Anggi sambil tepuk pelan kening Jamie. "Awas dulu deh, aku belum selesai nih. Kamu mending pake baju dulu. Udah aku siapin, tuh."
"Buat apa pake baju kalau akhirnya dilepas lagi?" Mata Jamie mengerling jahil, lalu bergerak cepat mencuri satu kecupan dari pipi perempuannya. Ia tergelak puas melihat mata Anggi membeliak sesaat. "Ini ekspresi yang sama yang aku lihat waktu pertama kali cium pipi kamu tiga tahun lalu. Waktu itu, abis lihat reaksi kaget kamu ditambah kamu diemin aku sepanjang jalan pulang, sampe rumah aku tuh gak bisa tidur tau gak, Yang? Kepikiran banget sumpah. Ngerasa bersalah. Aku gak minta consent kamu dulu waktu itu, kurang ajar emang. Maafin, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Take a Chance With Me
Fanfic"Kita udah pernah nyoba sekali, lalu kita berakhir gagal. Tapi ternyata di antara mereka yang datang ke hidup aku dan kemudian memilih pergi meninggalkan, aku masih berharap kamu jadi satu-satunya yang datang untuk kemudian menetap. Nggi, mau nggak...