16. Ayok!

391 62 4
                                    

🔞🔞

***

Jamie terusik dari lelap tidur ketika merasakan raga perempuan dalam dekapannya terperanjat. Lalu deru napas Anggi yang pendek-pendek terdengar jelas di antara kesunyian kamar. Jamie lekas membuka mata, sedikit mengangkat kepala demi bisa melihat wajah Anggi yang posisinya membelakangi. Dalam remang cahaya yang bersumber dari lampu duduk di atas nakas, Jamie menemukan wajah pucat Anggi. Kening Anggi berpeluh.

"Nightmare again?" Jamie berbisik seraya mengelap kening sang istri, kemudian mengecup sekilas puncak kepalanya. Ia mendekap lebih erat pinggang perempuan itu, berusaha menenangkan lewat sentuhan yang beritahu Anggi bahwa Jamie di sini.

Anggi yang masih berusaha mengatur napas, erat-erat memegangi lengan Jamie yang memeluk sepanjang garis bahunya. Mengerjap-ngerjap supaya sisa-sisa mimpi yang menggantung di pelupuk mata berjatuhan. Mimpi itu datang lagi, tidak mengizinkan Anggi tenang dalam tidurnya. Untuk yang ke sekian kali, ia berdiri di tepi jurang, lalu tahu-tahu terombang-ambing di antara ombak yang bergulung-gulung. Sesak. Sempit. Rasa ngeri mencekik lehernya hingga kesulitan bernapas. Ketika raganya melemas dan mulai melayang menyongsong dasar lautan, Anggi mendongak. Di kesadaran yang nyaris padam, ia samar-samar dapat melihat seseorang berenang cepat ke arahnya. Satu tangan terulur, dan saat Anggi menyambutnya, ia terperanjat.

Kurang lebih dua minggu sudah Anggi dihantui mimpi yang sama, dan Anggi selalu terjaga, selalu mengusik Jamie dari pulas tidurnya juga. Anggi jadi menggangu waktu istirahat lelaki itu.

"Yang?" panggil Jamie pelan setelah dirasa napas Anggi tak menderu lagi. Lelaki itu pun mendudukkan diri, lalu menatap Anggi yang terlentang. Jamie menggenggam tangan Anggi-nya yang berkeringat dingin. Ia merasa cemas lantaram akhir-akhir ini Anggi selalu terbangun di tengah malah dengan kondisi macam orang habis dikejar sesuatu, panik dan sesaat tampak linglung. Meskipun tidak kentara, Jamie bisa menangkap kilat takut di mata Anggi. Sudah berkali-kali Jamie mengajak Anggi memeriksakan diri, sebab gejala-gejala ini cukup Jamie kenali. Namun, Anggi kukuh menolak. Bersikeras mengatakan tidak apa-apa. Akan tetapi sepertinya besok Jamie akan menggendong Anggi ke rumah sakit. Bodo amat Anggi nangis juga.
"Lho? Kok nangis lagi? Gapapa, hei. Kamu nggak ganggu waktu istirahat aku, oke? Sini, sini, aku peluk dulu."

"Maaf," cicit Anggi dengan suaranya yang terdengar kekanak-kanakan. Ia mendudukkan diri, langsung ditarik Jamie ke dalam pelukan. Anggi gigit bibir bawah demi menahan isakan. Akhir-akhir ini Anggi jadi cengeng sekali. Kesalahan kecil yang ia buat bisa membuatnya menangis seperti bocah dikarenakan merasa bersalah.

"Dimaafin, Cantikku."

Anggi melepaskan diri dari dekapan Jamie, lalu mengusap air mata di pipi. "Kamu bobo lagi, gih. Aku mau ambil minum dulu." Anggi sudah setengah beranjak, tetapi Jamie menarik pelan lengannya, membuat Anggi kembali duduk. "I'm okay, Jam. Don't worry."

Jamie diam, menatap mata Anggi dalam-dalam. "Gimana bisa nggak cemas, kamu udah kayak gini satu minggu lebih. Bangun setiap malam dalam keadaan ketakutan. Nggi, tell me, sebenernya kamu itu kenapa? Bilang, biar aku tau aku harus apa."

"It's just nightmare, Jam."

Lelaki itu menghela napas, menyerah mengulik lebih jauh. Bukan karena ia percaya, melainkan tahu Anggi tidak akan jujur meski dipaksa. "Tunggu ya, biar aku yang ambil minum." Jamie beranjak turun dari ranjang, lantas melangkah gontai keluar ruangan.

Begitu pintu tertutup, Anggi pun lekas menarik napas dalam-dalam, penuhi dadanya dengan aroma kamar yang dominan oleh wangi parfum Jamie. Sambil menyeka sisa peluh di dahi, Anggi beranjak turun dari ranjang. Duduk memeluk lutut di atas karpet. Punggungnya menyandar pada body samping ranjang. Kosong, tatap yang ia arahkan pada lemari di depan sana.

[✓] Take a Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang