Pagi itu suasana di meja makan tak hangat. Berisik yang biasanya Jamie suguhkan tak kedengaran. Laki-laki itu menyantap sarapan yang Anggi hidangkan dalam diam. Tak banyak omong. Sekadar, "Thanks." yang ia lontarkan di kurun waktu setengah jam-an ini. Si perempuan sama saja, memilih bungkam, merasa tak ada yang perlu dijelaskan. Ia menyadari niat baiknya dituang pada cara yang keliru, jadi ia tak akan membela diri. Selain permintaan maaf, Anggi tidak punya sesuatu untuk disampaikan ke Jamie. Namun, nanti, ia akan bilang nanti. Sekarang ia tahu kekecewaan Jamie masih membumbung tinggi.
Selepas meneguk isian gelas sampai tandas, Jamie yang sudah rapi dalam balutan kaos putih dan celana jeans lantas melipat kedua lengan di meja. Tatap yang sejak tadi jatuh ke piring kemudian diangkatnya, lurus, tertuju pada wajah sayu Anggi yang kentara habis menangis. Lelaki itu menghela napas samar, ekspresi datar yang ia tampilkan sungguh kontras dengan rasa bersalah yang menghimpit dada. Logika Jamie berteriak, mengingatkan supaya Jamie jangan bersikap begini. Berteriak, meminta Jamie lebih lunak lagi dalam menyikapi kekeliruan sang istri. Akan tetapi hati Jamie yang erat dicengkeram kecewa bikin pikirannya keruh. Kelembutan yang Jamie beri selama ini tak ampuh membuat Anggi mau bersandar dan bergantung, maka mungkin tegur dalam balut dingin ini yang akan mampu menyadarkannya.
Ditatap mata yang tak memendarkan binar itu, Anggi gelisah. Tak ia putus kontak mata, tetapi jemari saling taut di atas paha. Anggi harus bagaimana?
"Nggi." Kalah, Jamie resmi kalah. Tak tega ia dapati mata Anggi mengkilat karena air mata, ekspresi perempuan itu gamblang mengakui kesalahannya. Jamie pun bangkit, berpindah kursi ke sebelah Anggi, sedikit menggeser kursi Anggi agar posisi mereka jadi berhadapan. Usai wajah sembap itu bisa leluasa Jamie tatap, Jamie bilang, "Ada yang mau kamu jelasin ke aku?"
Anggi menggigit bibir bawah, lantas menggeleng pelan. "Aku salah, maaf." Anggi menunduk, tetapi Jamie tidak mengizinkannya, lekas Jamie angkat lembut dagu Anggi demi menyatukan tatapan mereka lagi. "Maafin aku ...."
"Coba bilang apa yang kamu rasain sekarang, aku dengerin," bisik Jamie.
Tatapan Jamie seolah-olah membujuk Anggi untuk meluapkan segala yang dipendamnya selama ini. Dan, sukses. "Jam, selain takut membebani kamu, aku juga takut ditinggalin. Kamu tau aku, tau sampai bagian paling buruk di diri aku. Kalau aku terus nyusahin kamu, aku takut pemakluman kamu bakal abis. Sejak awal, yang bisa aku kasih cuma keberadaan diri, sekadar itu, padahal kamu ngasih aku banyak hal. Kadang aku ngerasa timbal balik di antara kita enggak seimbang, aku selalu kurang. Jadi saat aku dikasih kesempatan melakukan sesuatu buat kamu, bakal aku lakuin apa pun itu. Yang aku lakuin kemarin dan bikin kamu kecewa, itu salah satu upayaku untuk ringanin beban kamu, tapi ya, aku salah. Aku justru menempatkan kita di posisi yang malah bikin salah paham. Aku beneran minta maaf. Aku ternyata enggak sekuat itu lewatin ini sendirian. Ternyata aku butuh kamu."
Raga ringkih yang samar-samar mulai bergetar karena tangis itu, direngkuh Jamie. "I was told you countless time, lean on to me. Aku gak bilang itu buat sekadar nenangin kamu, Nggi. I really meant it. Jangan tanggung semuanya sendiri, manusia itu butuh orang lain. Aku tuh mau bantu kamu, yang perlu kamu lakuin cuma minta bantuanku. Juga, demi Tuhan, berhenti mikir aku terbebani. Kamu tanggung jawab aku, udah jadi keharusan buat aku urusin urusan kamu. Dan itu sama sekali gak membebani ... let me take care of you."
Anggi sesenggukan, ucapan Jamie dan usapan lembutnya di punggung Anggi membuat Anggi kian nelangsa. Sejak awal bukan Jamie yang tidak Anggi percayai, tetapi Anggi tidak percaya pada dirinya sendiri. Namun, ternyata keliru. Sebelum siapa pun, harusnya yang pertama Anggi percaya adalah diri sendiri, 'kan? Andai sejak awal demikian, Anggi tidak akan melukai siapa pun, 'kan? Tidak diri dan Jamie.
"Udah, ya? Nangisnya udahan." Jamie mendorong pelan bahu Anggi, cipta sedikit jarak demi bisa melihat wajah perempuan itu. Ia seka jejak basah di pipi Anggi, lalu benahi anak rambut Anggi yang menempel di dahi akibat keringat. "Aku juga minta maaf nggak angkat telepon kamu semalam, hp aku mati. Harusnya tadi malam kita rayain ulang tahun kamu, tapi malah kayak gini. Mana jadwal Nayanika padet tiga hari ke depan. Gimana dong, Yang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Take a Chance With Me
Fanfiction"Kita udah pernah nyoba sekali, lalu kita berakhir gagal. Tapi ternyata di antara mereka yang datang ke hidup aku dan kemudian memilih pergi meninggalkan, aku masih berharap kamu jadi satu-satunya yang datang untuk kemudian menetap. Nggi, mau nggak...