11. Paman

307 76 10
                                    

Harusnya siang ini Anggi menemani Jamie checksound, tetapi telepon yang datang di jam sembilan pagi tadi dari Oma membuat Anggi malah berakhir di rumah sakit. Tensi darah beliau lagi-lagi tinggi. Sebagai satu-satunya keluarga yang Oma miliki, Anggi jelas akan meninggalkan segala aktivitas demi menunggui Oma. Di jam empat sore ini, setelah memastikan Oma terlelap, Anggi keluar kamar rawat inap untuk mencari udara segar. Ia butuh merilekskan pikiran, sebab jika sang oma sudah masuki kondisi yang mengkhawatirkan seperti ini, demi Tuhan, rasanya tidak tenang sekali. Anggi tidak punya siapa-siapa selain Oma dan Jamie, dua pilar yang topang dunia Anggi. Jika salah satunya patah, Anggi bakal limbung, persis beberapa waktu lalu ketika Jamie sempat pergi.

"Oma gimana keadaannya, Yang?"

Pada layar ponsel yang menampilkan wajah lesu Jamie, Anggi mengangguk. "Tadi sempet ngeluh sakit kepala, tapi sekarang udah tidur. Kamu kayaknya juga kurang tidur, Jam." Jadwal tidur Jamie memang kacau akhir-akhir ini. Selain disibukkan persiapan tur, juga karena ada malam-malam panjang yang Jamie pakai untuk bekerja keras.

Jamie bilang ingin segera memiliki buah hati, menyempurnakan bahagia keluarga kecilnya. Tentu saja, itu pun jika Anggi bersedia sebab yang nanti menanggung sakit mengandung dan melahirkan bukanlah dirinya. Jamie memang ingin menghadirkan gelak tawa ceria anak-anak di tengah-tengah dirinya dan Anggi, tetapi sekali lagi, ia serahkan keputusan soal momongan kepada perempuan itu sepenuhnya.

"Itu kamu gak lagi di ruangan?"

"Di cafetaria. Laper," balas Anggi.

"Mam yang banyak." Tangan Jamie menepuk-nepuk bagian atas ponsel, maksudnya sih mau puk-puk kepala Anggi lewat touchscreen. "Oma gak akan kenapa-napa, jadi jangan banyak pikiran, ya? Ngerawat orang sakit tuh selain bikin fisik capek, juga nguras banget kewarasan. Kita udah usaha, sisanya pasrahin sama Tuhan. Jangan sampe kamu sakit juga. Lihat kamu sakit tuh bikin aku jadi ikutan sakit."

Anggi memutar bola mata, lepaskan dengkusan juga, lalu memalingkan muka demi sembunyikan kuluman senyum. "Kamu udah selesai, Jam?"

"Udah kelar, sekarang lagi beres-beres. Aku langsung ke situ. Kamu mau titip sesuatu?" Jamie tampak memasukkan handuk kecil ke tas, lalu mengenakan topi. Wajah berpeluh Arjuna nongol sesaat di sudut frame, nyengir dan melambaikan tangan kepada Anggi. "Bau, goblok!" umpat Jamie ketika Arjuna iseng mencubit hidungnya dengan tangan yang sebelumnya digosok-gosokkan ke ketiak sendiri.

Menyaksikan itu, Anggi terkekeh kecil. "Aku titip sesuatu, dong," gumamnya.

"Titip apa, Yang—eh bentar, biar aku tebak." Mata Jamie berbinar-binar selagi mengingat-ingat. "Kebab, 'kan?"

Anggi menggeleng.

Jamie meringis, padahal seingatnya kebab adalah makanan favorit Anggi.

"Jadi titip apa?"

"Titip kamu."

"Uh?"

"Titip kamu selamat sampai bisa mata aku lihat." Anggi lalu tergelak dengan pipi merona. "Hati-hati di jalan, Jam." Tanpa tunggu balasan Jamie, Anggi langsung memutuskan sambungan, soalnya biar Jamie cepat-cepat pulang sehingga Anggi bisa mengadukan hari ini yang terasa berat untuk dilewati. Ia memasukkan ponsel ke tas. Piring di meja sudah bersih dari makanan, Anggi pun beranjak kembali ke ruang rawat omanya. Namun, begitu Anggi sampai di sana dan membuka pintu, justru pemicu trauma menyambutnya.

Perempuan itu mematung di ambang pintu, bergetar takut iris mata Anggi saat sesosok lelaki yang duduk di sisi ranjang menatapnya dalam-dalam. Ia tercekat. Jantungnya berdebar-debar cemas. Melihat lagi sebentuk wajah yang selama ini mati-matian ia tikam bayangannya sukses membuat kilasan kejadian beberapa tahun lalu kembali berlarian di benak Anggi. Tangannya yang masih memegangi gagang pintu mulai bergetar, lalu tergolek lemas ke sisi tubuh. Alarm waspada terdengar menjerit-jerit dalam kepala Anggi dan secara refleks ia melangkah mundur.

[✓] Take a Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang