21. Recall

452 77 11
                                    

Ini beneran aku?

Pertanyaan itu terus menggema di benak Anggi selagi menggulir satu demi satu foto di ponselnya. Potret diri dengan seorang lelaki bernama Jamie.

Ada banyak momen yang terabadikan dalam ponsel tersebut. Anggi melihat dirinya tampak bahagia di sana. Dari tanggal dan tahunnya, ribuan foto itu diambil sejak empat tahun silam, dan sialnya, Anggi tak ingat sama sekali. Ia tidak bisa menemukan sosok lelaki itu dalam puing-puing kenangan. Bahkan meskipun Anggi telah berusaha keras menggali ingatan, sedikit pun tentang Jamie luput ia lihat. Samar-samar pun tak ada. Psikiater yang menanganinya memberitahu ia didiagnosa Amnesia desosiatif. Lalu Anggi bertanya-tanya, kira-kira sesakit apa luka yang Jamie toreh hingga pikiran Anggi terpaksa menghapusnya demi melindungi diri?

Padahal dilihat-lihat dari foto di layar, Anggi rasa dirinya begitu mencintai si lelaki. Tatapannya pada Jamie penuh puja dan amat mendamba. Siapa pun akan tahu perasaan Anggi tulus hanya dengan melihat sorot matanya ketika menatap Jamie. Lalu apa yang salah?
Kenapa ia bisa sampai sebegininya?

Sampai melupakan apa yang ia lalui empat tahun ke belakang. Ada lubang besar menganga di memorinya yang menyedot banyak kenangan. Anggi lupa kapan kali pertama ia bertemu Jamie, di detik mana ia menjatuhkan hati, di hari apa ia yakin menerima tawaran Jamie untuk arungi rumah tangga bersama. Di empat tahu itu bukan sekadar buram, tetapi gelap total. Selain kebenaran bahwa Jamie adalah suaminya, Anggi sungguh tak tahu apa-apa lagi. Kemuning belum mau memberinya cerita kilas balik.

"Nggi?"

Suara lembut dari ambang pintu membuat Anggi mengangkat tatap. "Oh?" Anggi mengerjap, agak terkejut mendapati presensi Jamie di ambang pintu. Setengah jam lalu Kemuning pamit ke market store, membiarkan perempuan itu sendiri di apartemen, menyuruh Anggi beristirahat. Namun, Kemuning sepertinya pergi tak untuk betulan belanja, melainkan ingin beri waktu Anggi dan Jamie untuk bicara.

"Boleh aku duduk?" tanya Jamie.

Anggi mengangguk, maka Jamie lekas ambil posisi duduk di sebelah Anggi. Sejenak, keheningan membentang. Tatap Anggi jatuh pada jemari yang saling taut di atas paha, merasa agak gelisah, karena meskipun kenyataan bilang Jamie adalah suaminya, tetapi kosongnya informasi mengenai lelaki itu di dalam kepala Anggi bikin Anggi jadi kikuk. Rasanya asing dan jauh. Ia tidak menemukan dadanya berdebar kala mata mereka beradu tatap. Cuma beragam tanya yang berisik di kepala.

Dia ya orangnya?

Secinta apa aku sama dia?

Kenapa bisa aku secinta itu sama dia?

Hal hebat apa yang udah dia lakukan sampai-sampai aku bisa secinta itu?

"Maaf," gumam Anggi, untuk diri yang melupakan lelaki ini. Setelah sekian menit menahan fokus di tautan jari, Anggi akhirnya bawa atensi kepada Jamie. Menyambut tatapan nelangsa Jamie. Anggi tertegun. Mata itu cantik, tetapi binarnya redup. Kegetiran yang gamblang terpancar membuat Anggi merasa bersalah. "Maaf ...." Lagi-lagi, cuma itu yang mampu Anggi ucap. Ia membayangkan diri sendiri tempati posisi Jamie, menghilang dari ingatan orang yang disayang, bukankah akan terasa amat menyesakkan? Dari mata sayu yang menyorot sendu itu, Anggi serasa dapat merasa kesakitan Jamie.

Sementara itu, selagi menatap mata Anggi, Jamie dapat mendengar suara patahan. Hatinya patah berkali-kali sebab tak mampu menemukan sorot lembut di mata yang ia suka. Tak ada senyum ramah yang jadi favoritnya. Cara perempuan itu menatap telah berubah, berbeda, tak tersisa cinta di sana. Bingung dan sarat tanda tanya. Ke mana perginya Anggi yang anggap Jamie rumah? Ke mana Jamie harus mencari sosok Anggi yang selama ini mencintainya? Padahal Anggi yang ini adalah Anggi yang sama dengan yang dua minggu lalu Jamie dekap erat-erat di sepanjang malam, yang Jamie cium puncak kepalanya berkali-kali ketika mulai mengigau, yang tersipu tatkala Jamie hujani dengan kalimat pujian.

[✓] Take a Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang