Joan dan Jamie mengangguk kompak, tanggapi kata pamit Arjuna dan Kevin yang lebih dulu pulang seusai latihan. Di studio tersebut kini menyisakan dua orang, Jamie masih asik berkutat dengan gitar bass-nya, sementara Joan rebahan di sofa sembari memainkan ponsel. Dikarenakan rencana tour Nusantara sudah semakin matang, memaksa anak-anak Nayanika untuk melakukan latihan intens di sela-sela jadwal padat mereka. Capek, tetapi juga menyenangkan, sebab ini adalah mimpi besar yang didamba sejak lama.
"Ampli-nya udah kudu ganti nggak sih ini, bro?" tanya Jamie seusai memetik string tetapi mendapati suara yang dihasilkan amplifier tidak terdengar seperti biasanya. Sebal tak direspons Joan, Jamie pun mencabut jack, lalu menaruh bass-nya. Ia beranjak ke sisi Joan. "Kenapa lo? Keruh gitu muka."
Joan menghela napas panjang, belum mau alihkan pandang dari ponselnya. "Mumet gue, njir. Obrolan gue sama Gigi belakangan bahas nikah mulu, dia yang selalu nyinggung-nyinggung ke arah sana padahal tau kalau gue nunggu Jeje dulu." Joan bergerak ogah-ogahan mendudukkan diri, menyatukan tatapan dengan Jamie.
"Menurut lo gue kudu gimana, Jam?"Dengan kelewat santai Jamie berikan balasan, "Langkahin aja sih abang lo."
"Gak enaklah gue." Joan kembali tarik napas dalam-dalam, harusnya paham kalau membicarakan yang beginian dengan Jamie tak akan mendapatkan solusi. Di tengah kekalutannya, rasa penasaran yang Joan simpan sejak beberapa hari ke belakang tiba-tiba mencuat lagi, perihal Jamie. "Eh, nyet, gue boleh nanya gak?" Tanya ini dapat lirikan bingung dari Jamie, pasalnya tumben-tumbenan Joan minta izin segala timang hanya mau bertanya.
"Tumben lo punya etika," cibir Jamie.
"Monyet," maki Joan sebal. "Serius gue, izin dulu soalnya agak sensitif nih yang mau gue tanyain. Bukan sesuatu yang harus gue urusin sih sebenernya, tapi gue ngerasa janggal aja soal lo sama Anggi—" Di sana, Joan menggantung kata, sejenak amati raut wajah Jamie.
Jamie senyum tipis, tidak terkejut sama sekali sebab tempo hari sudah ada Arjuna yang lebih dulu bertanya perihal ini. Justru jika tiga temannya tak curiga, Jamie harus pertanyakan pertemanan mereka. "Lanjutin, Jo."
"Kenapa tiba-tiba nikahin dia?" To the point Joan bertanya, keseriusan jelas ada di wajahnya. "Gue nggak denger bocoran apa-apa, tau-tau bilang mau married. Sebenernya lo sama Anggi udah berencana sejak jauh-jauh hari tapi diem-diem aja, atau emang iya ambil keputusannya mendadak gitu?"
"Mendadak." Jamie lekas meluruskan tatap, enggan lebih lama menyambut sorot penuh selidik dari Joan. Tanpa perlu didesak oleh tanya lagi, Jamie menjelaskan, "Gue juga gak kepikiran bakal nikah dalam waktu dekat, ini jadi kejutan juga buat gue, Jo. Lo tau kan oma-nya Anggi sakit? Belakangan penyakit beliau makin parah. Satu malam di mana beliau masuk rumah sakit, beliau nangis-nangis di depan gue. Anggi lagi nggak ada waktu itu. Beliau ngadu ke gue, katanya sedih karena ngerasa ajal makin dekat sementara cucunya belum menikah. Takut wafat sebelum ngelihat Anggi ada di penjagaan lelaki yang baik."
Joan manggut-manggut.
Jamie melanjutkan, "Gue bukannya mau jadi pahlawan kesiangan, nggak, sadar banget gue bukan cowok baik."
"Oke?" Joan menuntut penjelasan lebih. "Akhirnya apa yang bikin lo yakin nikahin dia? Terlepas dari iba ke oma-nya Anggi. Gue punya satu spekulasi, dan ini jelek banget, gue harap kali ini gue salah menilai lo."
Tatap Jamie yang terarah ke amplifier di depan sana mendadak sendu. "Lo bener, Jo. Penilaian lo tentang gue selalu bener. Kali ini pun gue jadi brengsek lagi. Gue manfaatin situasi. Di satu sisi gue gak bisa biarin Anggi menghadapi duka sendirian misal oma-nya beneran pergi. Gue pernah lihat dia hancur sekali, dulu, hancur yang sampe dia keliatan kayak nggak mau nerusin hidup. Tapi di sisi lain gue menikahinya demi kepentingan diri sendiri. Gue melakukan apa yang pernah gue lakukan dulu, menjadikan dia obat untuk luka yang gue dapetin dari Sheila. Sejauh ini Anggi sanggup jadi distraksi patah hati gue karena Sheila. Sengaja gue nikahin dia, biar kalau kali ini gue mau menyerah lagi, gue bakal berpikir ribuan kali." Bisa Jamie dengar helaan napas Joan yang menyirat ketidak-habis pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Take a Chance With Me
Fanfiction"Kita udah pernah nyoba sekali, lalu kita berakhir gagal. Tapi ternyata di antara mereka yang datang ke hidup aku dan kemudian memilih pergi meninggalkan, aku masih berharap kamu jadi satu-satunya yang datang untuk kemudian menetap. Nggi, mau nggak...