Our Promise 7 - Happiness

6 1 1
                                    

Seperti dua minggu sebelum-sebelumnya, aku selalu bangun dan mandi pagi-pagi sekali. Kurang dari jam 6 aku sudah berangkat hanya untuk melihat Barsha bermain basket di lapangan. Berbeda dengan sebelumnya, hari ini aku memutuskan untuk mendekatinya ke lapangan. Rasanya sedikit keberanianku sudah terkumpul untuk dekat dengan cowok itu.

Aku sebenarnya tidak berniat untuk mengganggunya. Tapi saat bola basket yang dimainkan cowok itu memantul ke arahku dan dengan refleks aku menangkapnya, cowok itu jadi berhenti bermain dan berjalan mendekat ke arahku.

"Kak Sea?" panggil Barsha saat kami sudah berhadapan.

Aku mencoba tersenyum. "Ha-hai," sapaku.

Barsha membalas tersenyum tipis. "Ada apa, Kak?" tanyanya. Tampaknya masih bingung melihatku yang tiba-tiba saja menghampirinya.

"Ee ... nggak ada apa-apa. Emang nggak boleh aku liat kamu main basket?" Aduh, jawaban seperti apa sih itu Sea! Kamu berasa kayak lagi menggoda tau nggak?!

Dan untung saja, Barsha itu tipikal cowok yang santai-santai saja. "Boleh, sih. Tapi biasanya kan, Kakak langsung pergi ke kelas."

Aku tersenyum menjawab perkataan Barsha. Tidak tahu saja kalau aku selalu memperhatikan dia bermain basket dari lantai 2 tempat kelasku berada.

"Mau main basket bareng nggak, Kak?"

Aku mengerjap mendengar ajakan Barsha. Ingin rasanya aku bergerak mengorek kuping untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Atau menepuk pipiku untuk memastikan bahwa ini tidak mimpi.

Namun, aku sadar kalau ini lagi-lagi sebuah kenyataan saat Barsha kembali angkat bicara.

"Kakak kan bisa main basket. Gue pernah liat di SMP dulu."

Tuhan ... bisakah aku tidak jatuh lebih dalam lagi? Aku takut jika perlakuan Barsha ini hilang di saat aku benar-benar tidak mau kehilangan dia.

"Ayo, Kak." Barsha mengambil bola yang tadinya masih berada di dekapanku dan dia pantul-pantulkan pada lapangan yang berlapiskan paving block.

Aku yang sudah bisa sepenuhnya menguasai diri tersenyum lebar. Aku melepaskan tasku dan meletakkannya di tepi lapangan. Setelahnya aku berlari mendekati Barsha dan mencoba merebut bola itu darinya.

Aku bahagia. Sangat. Melihat tawanya yang pecah saat aku tidak bisa mengambil bola darinya, dan juga saat dia berhasil mencetak poin. Saat itu aku sadar, bahwa dia adalah salah satu cahaya yang aku miliki. Aku ... benar-benar mencintainya. Dan kuharap, cinta ini tidak berakhir semu.

Matahari sedikit-sedikit mulai memancarkan sinarnya. Beberapa siswa GHS juga sudah mulai berdatangan menuju kelas masing-masing. Namun, hal itu tak lantas membuat aku dan Barsha berhenti bermain basket. Kami terus berlari dan saling berebut bola dengan tawa yang tak bisa ditahan untuk tak dikeluarkan. Tanpa memedulikan banyak pasang mata yang terus memperhatikan kami.

Permainan kami hentikan saat aku sudah tak sanggup lagi berlari dan berakhir duduk di tengah-tengah lapangan dengan kaki yang diselonjorkan. Barsha yang melihatku sudah terkulai lelah menyusul duduk di sampingku.

Peluh sama-sama bersarang di dahi kami. Bahkan rambut kami sampai lepek setelah lebih kurang setengah jam bermain basket. Namun, aku sama sekali tak keberatan akan hal itu.

"Gue yang menang," ujar Barsha dengan napas yang ngos-ngosan.

Aku tertawa mendengarnya. "Iya, kamu menang."

"Hadiah?"

"Hah?" Aku dengan cepat menoleh kepadanya. Dia minta hadiah? Kan nggak ada perjanjian!

"Gue minta hadiah." Barsha tersenyum.

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang