Our Promise 22 - Hurt Fact

6 1 0
                                    

Barsha tersenyum melihat Sea yang melambaikan tangan. Setelah gadis itu masuk ke dalam rumahnya, Barsha menghela napas berat. Dia membawa tangannya meraba dada. Sejak di pantai tadi ia berusaha mati-matian menahan nyeri di dadanya. Beberapa hari terakhir ini, dadanya memang selalu terasa nyeri.

Barsha mencoba untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Dia melakukan itu beberapa kali sampai dirasa nyeri itu berkurang. Setelahnya, barulah cowok itu menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah Sea.

Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Barsha sampai di rumahnya. Dia keluar dari mobil dan memasuki rumah.

Saat membuka pintu, betapa terkejutnya dia melihat ke arah ruang tamu yang terdapat sepasang seorang pria dan wanita. Di sana juga terlihat kakaknya yang tampak tertunduk.

"Mama? Papa?" gumamnya pelan. Barsha membawa kakinya untuk mendekati ketiga orang yang tampak dalam suasana dingin itu.

Liam yang pertama kali menyadari kedatangan adiknya mendongak. Dia tersenyum tipis menatap adiknya itu. Barsha membalas dengan hal serupa. Dia duduk hati-hati di samping Liam lalu menatap wajah kedua orangtua-nya yang sudah hampir dua tahun ini tak pernah dia lihat lagi.

"Ni qu na 'erle?" tanya Isyana, Mama mereka setelah melihat kedatangan Barsha.

Barsha diam sebentar. Tidak menyangka mendapat pertanyaan dari Mamanya. Hatinya menghangat walaupun sekedar ditanya seperti itu. "Cong waibu. Barsha habis jalan-jalan," jawab Barsha.

Zhao Fang mendengus mendengar jawaban Barsha. "Zhen de ma? Saya curiga kamu habis dari club, atau kalau tidak—"

"Pa ...." Liam memotong ucapan Zhao Fang. Laki-laki itu menatap Papanya dengan tatapan memohon agar jangan menuduh Barsha yang tidak-tidak.

"Wei shen me? Ucapan papa benar, kan?" Zhao Fang menaikan nada suaranya. Tidak terima perkataannya dipotong Liam.

Liam menarik napasnya menahan emosi. Dia memejamkan mata agar rasa meletup-letup dalam dadanya segera mereda. "Kalau cuma mau marah-marah dan nuduh-nuduh nggak jelas, mendingan Papa pergi aja dari sini," ujar Liam dengan suara yang dibuat sesopan mungkin. Tapi cowok itu menatap kedua netra papanya tajam-tajam.

"Liam!"

"Kak!"

Isyana dan Barsha berujar bersamaan. Mereka tidak menyangka Liam berani berbicara seperti itu pada papanya sendiri.

"Berani sekali kamu, Liam! Kamu kira rumah ini milik siapa, hah?!" bentak Zhao Fang dengan wajah memerah karena emosi. Mata sipitnya membelalak tajam.

Liam mendesah berat lalu tertawa sinis. "Ya udah, kalau begitu biar kami aja yang pergi."

Laki-laki dengan tinggi 178 cm itu berdiri dan menarik lengan Barsha untuk mengikutinya. Panggilan Isyana tidak dihiraukannya. Liam hanya terus berjalan menuju mobilnya dengan wajah yang mengeras akibat terus menahan emosi.

"Masuk, Bar!" titah Liam pada Barsha. Dia berjalan mengitari mobil dan duluan masuk ke dalamnya.

Barsha yang melihat sikap Liam hanya dapat menghela napas pasrah. Dia membuka pintu mobil dan menyusul masuk. Setelah itu barulah Liam menjalankan mobil keluar pekarangan rumahnya.

"Kenapa lo pake lawan Papa segala sih, Kak? Untung aja lo nggak kenapa-kenapa tadi. Lo tau sendiri kalau Papa marah gimana," ujar Barsha menceramahi Liam yang fokus menyetir.

"Ya terus gue harus diam aja gitu dengar lo dituduh-tuduh nggak benar seperti tadi?!" Liam menjawab dengan emosi.

"Gue nggak pa-pa."

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang