Our Promise 26 - Bad Dream

3 1 0
                                    

Aku ke luar dari toilet sambil menggosok rambutku yang basah menggunakan handuk bersih yang tadi Barsha berikan. Terlihat di dapur Barsha sedang berkutat dengan alat dapur. Cowok itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos putih dan celana panjang hitam.

Melihat itu, aku mendekat ke arahnya. "Masak apa, Bar?" tanyaku saat berada di sampingnya. "Ooh, mie ...." Aku nembulatkan mulutku saat mengintip panci yang ternyata berisi air panas yang sudah terdapat mie.

"Iya. Dingin-dingin gini kayaknya makan mie enak," ujar Barsha sambil tersenyum menatapku sekilas. Lalu melanjutkan memotong sawi.

Aku mengangguk membenarkan.

"Bajunya nggak kebesaran, kan?" Barsha mengarahkan pertanyaan pada bajunya yang aku kenakan saat ini. Sweater abu-abu dengan celana senada.

"Kebesaran dikit sih, tapi nggak pa-pa," jawabku sambil tersenyum tipis.

"Oh iya, buku kita tadi gue kipas anginin di ruang tamu. Udah kering belum, ya?" kata Barsha kemudian sambil menoleh ke ruang tamu.

Akibat pulang hujan-hujanan, semua yang kami kenakan habis basah kuyup termasuk tas dan buku. Untung saja buku-buku itu masih kebanyakan kosong karena kegiatan pembelajaran belum berlangsung secara efektif.

"Tunggu, aku periksa."

Aku melangkahkan kakiku ke arah ruang tamu. Di atas meja, terlihat jejeran buku milikku dan milik Barsha yang tampak sangat lembab. Bahkan sepertinya tenaga kipas angin saja tidak akan cukup untuk mengeringkan buku-buku itu.

Aku berdecak pelan. Melemparkan handuk ke sofa lalu berjongkok untuk membantu mengeringkan buku-buku itu dengan cara meniup-niup dan mengipasi dengan tangan.

Kurang lebih sepuluh menit aku terus mengipasi dan meniup buku, tidak lama Barsha datang membawa nampan yang sudah berisi dua mangkok mie berkepul asap juga 2 gelas air putih.

Cowok itu tersenyum melihatku yang masih sibuk pada buku-buku basah itu. Dia meletakan nampan di atas meja lalu duduk di sofa.

"Lambat keringnya Bar ...," keluhku dengan wajah cemberut.

"Udah, nggak pa-pa. Nanti gue pake cara lain. Sekarang makan dulu, yuk." Barsha mengambil buku yang berada di tanganku lalu mengenyampingkannya. Dia juga memindahkan mangkok mie dari nampan ke hadapanku.

Aku menghela pelan lalu mengangguk. Meraih mangkok mie itu dan mulai menyeruput kuahnya.

Aku mengerjap. Kok enak? Batinku.

Aku dulu sudah pernah bilang kan, kalau aku itu kurang suka dengan mie. Tapi kok pas ngerasain mie yang dimasak Barsha, aku jadi ketagihan ya? Bahkan saat ini aku sudah memasukan helaian mie instant itu ke mulutku dan alhasil lidahku melepuh akibat masih panas.

Barsha memasang wajah khawatir melihat aku meringis sambil mengipas-ngipas lidah. Dia menyodorkan segelas air padaku.

"Ditiup dulu, Kak. Jangan asal seruput aja," omelnya.

Aku mendengus— yang sebenarnya merasa malu. "Makanan mana boleh ditiup, Bar. Nanti kuman dari mulut masuk," ujarku beralibi.

Barsha tertawa kecil. "Ya sama aja. Makanannya juga masuk lewat mulut, berarti kuman yang ada dimulut kita kemakan juga dong," katanya telak.

Aku menatapnya dengan wajah datar, lalu menghela napas. "Ya nggak gitu jugaaa. Terserah deh!" pasrahku. Lalu kembali memakan mie.

Barsha terkekeh lalu menggeleng. Setelah itu, kami fokus pada mangkok mie masing-masing.

Di luar hujan masih deras. Belum ada tanda-tanda akan mereda. Padahal sudah 2 jam berlalu sejak pulangnya kami dari sekolah.

Ruang tamu Barsha yang bernuansa putih bersih saat ini terkesan dingin. Meski besar, tapi rumahnya tidak banyak berisikan barang mewah. Bahkan televisi tidak pernah aku jumpai setelah beberapa kali berkunjung ke sini. Mungkin barang mahal yang pernah kulihat cuma mobil dan pendingin ruangan. Setelahnya tidak ada lagi barang-barang yang cukup berharga.

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang