Our Promise 9 - Make A Promise

4 1 0
                                    

Setelah berhasil meredakan tangisku dengan menepuk-nepuk kepalaku pelan, Barsha membawaku ke rooftop. Kami duduk di sofa berwana hijau yang beberapa kulitnya sudah sobek. Pandangan kami sama-sama tertuju pada bulan yang cahayanya mampu membuat suasana rooftop yang gelap menjadi benderang.

Walau Barsha baru saja mengungkapkan perasaannya padaku— dengan cara yang sangat tidak terduga, tapi tetap saja interaksi kami tetap seperti sebelum-sebelumnya. Dengan aku yang tidak berani menatapnya lama-lama dan Barsha yang tetap pada sifat pendiamnya. Bahkan duduk kami berjarak setengah meter.

"Barsha," panggilku.

Cowok itu menoleh dan membalas dengan senyuman. "Hm?"

Aku menahan napas. Ternyata memang benar ya, kalau cowok sudah mengatakan 'hm' damage-nya bakal berkali-kali lipat. Apalagi sama cowok yang kita sukai.

Aku mencoba untuk mengatur detak jantungku yang berdebar-debar. "Kamu bilang ... kamu kenal aku sudah masuk lima tahun? Kok bisa? Padahal kan aku ketemu kamu pas di SMP. Akunya kelas delapan, kamunya kelas tujuh," jelasku.

Barsha membalas tersenyum tipis. "Sebelum itu gue udah pernah ketemu sama Kakak. Tapi nggak bisa juga dibilang pertemuan, sih. Soalnya gue cuma yang liat Kakak."

"Emangnya kamu liat aku di mana?"

"Di jalan. Waktu itu Kakak kayaknya baru pulang sekolah, deh."

Aku tersenyum lebar mendengarnya. "Jadi, kamu terpesona sama aku gitu?" Aku mengibaskan rambut lalu menatapnya dengan kerlingan jahil. Namun, saat dia menatapku nyaliku langsung menciut dan berakhir menunduk. Mana tahan aku kalau eye contact sama Barsha.

Tak lama kekehan Barsha terdengar. "Mungkin kali, ya. Soalnya pas pulang gue selalu kepikiran Kakak terus. Terus, setelah itu gue selalu lewat di sana biar bisa ngeliat Kakak lagi. Sampai akhirnya kita bisa satu sekolah."

"Tapi tetep aja, walaupun kita udah satu sekolah gue tetep nggak berani ngedekatin Kakak. Dan lucunya lagi, kita sama-sama nggak tau kalau kita udah saling suka sejak lama." Dia berakhir menatapku dengan senyuman kecil.

Aku menatapnya dengan pupil melebar lalu tertawa garing. Malu bangettt.

Untuk sejenak, suasana di antara kami menjadi hening. Udara malam semakin terasa dingin. Tapi tampaknya hal itu tidak berdampak bagiku. Rasa hangat di dadaku saat bersama Barsha menyebar ke mana-mana- dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kak, gue mau nagih hadiah gue?"

"Ha?" Aku mengerjap. Tapi, saat mengingat pada hari di mana Barsha memenangkan permainan basket saat itu, aku langsung ber-oh seraya manggut-manggut. "Kamu mau apa?" tanyaku dengan mata tertuju padanya.

Barsha membalas melihatku. Membuat jantungku berdetak tak karuan. "Gue cuma mau Kakak selalu bahagia. Apapun yang terjadi nanti."

Aku tercenung mendengar perkataan Barsha. Apalagi melihat sorot matanya yang berubah menjadi redup. Tapi, saat aku ingin melemparkan pertanyaan, Barsha memotong dengan mengajakku kembali ke asrama. Dia meraih tanganku dan membawaku turun dari rooftop.

***

Aku menekan sandi pada pintu kamar asramaku. Senyuman tidak bisa lepas dari wajahku saat aku berjalan memasuki kamar. Apalagi tadi Barsha mengantarku tepat di depan asrama putri dan sempat menepuk kepalaku sebelum menyuruhku masuk. Sungguh, hari ini tidak akan pernah aku lupakan.

"Sea."

"Astaga! Maylaaa!" teriakku kesal saat aku berbalik wajah Mayla dengan masker wajah lah yang aku dapati. Aku memegang dadaku yang terasa nyeri karena terkejut. "Kamu buat jantungan aja deh!"

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang