Our Promise 34 - Saka

2 1 0
                                    

Aku, Barsha juga Rega ke luar dari ruang majelis guru secara bersamaan setelah mengantarkan surat izin telat masuk. Memang Ayah sudah mengizinkan kami bertiga kepada guru wakil kesiswaan untuk telat datang sekolah dengan alasan ada urusan. Padahal mah, cuma kesiangan bangun.

Tapi Ayah memaklumkan. Dia bilang, itu wajar karena efek samping dari menangis berlebihan.

"Gue duluan."

Aku menoleh pada Rega yang berjalan menjauh. Mendengus kecil, lalu aku beralih melihat Barsha. Cowok itu balas menatapku.

Kami diam sampai beberapa menit. Sebelum Barsha memutuskan dengan mengalihkan pandang ke arah lain.

Aku tersenyum kecut. Setelah kejadian malam tadi, apakah Barsha berusaha menyembunyikan masalahnya lagi dariku?

"Kalau gitu ... gue juga duluan." Barsha berkata pelan. Matanya tidak terarah kepadaku. Tubuhnya langsung berbalik ingin pergi. Namun, sebelum dia menjauh, aku sudah menahan tangannya lebih dulu.

Barsha perlahan kembali menghadapku lagi. Dia memasang ekspresi bingung. "Ke ... napa, Kak?" tanyanya.

Aku menghela napas yang terasa sesak lalu menggeleng pelan. "Mata kamu bengkak," jawabku.

Barsha memasang senyum canggung. "Mata Kakak ... juga," ujarnya.

"Kalau mereka tanya kamu kenapa? Kamu jawab apa?"

Pertanyaanku sederhana. Tapi Barsha bungkam dalam waktu yang lama.

Dia beralih melihat jam tangan. Menatapku lalu berkata, "Ayo ke kelas. Nanti kita kena marah. Gue duluan, ya?"

Tanpa berniat mendengar jawaban dariku, Barsha dengan cepat berbalik dan melangkah menjauh. Aku yang melihat sikap cowok itu memejamkan mata cukup lama. Meredam kepalaku yang pusing dan hati yang sakit.

Kenapa semakin lama, hubunganku dengan Barsha semakin rumit?

*

"Hatiku selembar daun

Melayang jatuh ke rumput,

Nantu dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini,

Ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput,

Sesaat adalah abadi

Sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi."

Tepuk tangan dan suitan menggema sesaat setelah si siswa berkaca mata itu menyelesaikan perintah Pak Hendra —Guru Bahasa Indonesia—  untuk membacakan puisi di depan.

"Terima kasih, Varo. Kamu boleh duduk," ujarnya sambil tersenyum.

Siswa berkaca mata yang diketahui bernama Varo tersebut membungkukkan badan sambil mengucapkan terima kasih kepada Pak Hendra. Setelah itu dia berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Gimana gue tadi? Bagus kan, Bar?" tanya Varo pada Barsha. Kebetulan cowok berwajah dingin itu memang teman sebangkunya.

Barsha membalas dengan senyuman tipis lalu mengangguk. Membuat wajah Varo semakin berbinar.

"Puisi yang dibacakan oleh Varo tadi berjudul 'Hatiku Selembar Daun. Puisi tersebut adalah salah satu karya sastrawan terkenal Indonesia bernama Sapardi Djoko Damono. Sosok Sapardi Djoko Damono selalu menulis puisi dengan kata-kata yang sederhana. Dengan kata-kata yang mudah dipahami. Maka dari itu, puisi-puisi yang diciptakan olehnya menjadi sangat populer."

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang