Our Promise 32 - Hurt

3 1 0
                                    

Langit yang sedikit mendung. Matahari yang tak begitu terik, dan semilir angin yang terasa menyenangkan jika dinikmati dari rooftop Mega Buana. Hal-hal itulah yang aku lakukan berdua dengan Barsha saat ini.

Mendengar kabar bahwa guru yang mengadakan rapat tentu saja membuat para siswanya senang bukan kepalang. Itu akhirnya lagi-lagi kami mendapat jam kosong.

"Lomba musik acapella gimana?"

Aku menatap Barsha dengan wajah ragu-ragu. Saat ini aku memang menagih rekomendasi lomba yang cocok untuk aku ikuti nantinya. "Alasannya?" tanyaku.

Barsha mengernyit. "Ya ... karena Kakak bisa nyanyi lah," entengnya.

Aku berdecak mendengar jawaban Barsha. "Rekomendasi yang lain nggak ada? Jangan nyanyi terus deh, aku dari dulu kalau ada lomba pasti selalu berhubungan sama tarik suara mulu. Bosen," keluhku.

Barsha tampak berpikir lagi. "LCC?"

"Yang lain? Males mikir."

Barsha mendengkus. "Otak pintar gitu kenapa harus mikir coba," sindirnya. Aku tertawa pelan melihat ekspresi yang Barsha tunjukan.

Walau begitu, tidak lama kemudian Barsha kembali melihat list lomba yang ada di handphone-nya. Kali ini cowok itu tampak berpikir lama sekali. Mungkin dia sudah malas mendengar penolakanku atas lomba yang diusulkannya.

"Kakak suka dance, kan?" Pertanyaan Barsha aku balas dengan anggukan. "Nah, gimana kalau ikut lomba modern dance aja," usulnya sambil menjentikan jari.

Aku diam sebentar sambil menggumam. "Modern dance, ya ...." Tidak lama setelah itu, aku mengangguk-anggukan kepalaku. "Boleh tuh. Lagian aku udah lama juga nggak dance," kataku kemudian.

Kali ini Barsha yang mengernyit. "Kalau gitu jangan ikut lomba dance, deh," katanya tiba-tiba.

"Loh, kok gitu?" tanyaku bingung.

"Nanti bisa-bisa Kakak cedera kalau memang udah lama nggak dance. Gue nggak mau ambil resiko, lah."

Aku tertawa pelan. "Ya ampun, Baaar. Kan waktunya lama lagi. Ya, selama latihan aku bakal terbiasa lagi lah. Lagian kamu kira aku ini amatiran?" cerocosku.

"Ya tapi tetap aja gue khawatir." Cowok itu mengkerutkan kedua alisnya. Kentara sekali kalau dirinya memang sedang cemas.

Aku tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak pa-pa, Barsha. Percaya deh, sama aku."

Cowok itu diam. Tampak berpikir. Tidak lama kemudian helaan napas keluar dari mulutnya lalu ikut tersenyum. "Ya, udah. Tapi kalau emang nggak bisa, jangan dipaksain buat ikut lomba modern dance."

"Iyaaa! Ya ampun," kekehku. Gemas sekali melihat jiwa protective seorang Barsha ini.

"Kamu sendiri, udah tau mau ikut lomba apa?" tanyaku.

Barsha mengangguk. "Udah. Gue mutusin buat ikut lomba baca puisi aja," jawabnya.

"Baca ... puisi?" cengoku.

Barsha mengangguk lagi. "Iya."

"Seriusan?" Aku memasang wajah tidak percaya. Membayangkan Barsha yang notabene-nya memiliki wajah dingin harus berbicara dramatis nantinya, tentu saja membuatku geli sendiri. Kalian tahu sendiri kan, orang saat membaca puisi itu ekspresi dan gaya bicaranya seperti apa?

"Iya. Emang kenapa, sih?" Barsha tampaknya bingung dengan reaksi yang aku tunjukkan.

"Eee, nggak ikut lomba lain aja?" tanyaku hati-hati.

Barsha tambah mengernyit. "Enggak, lah. Adapun lomba lain yang buat gue tertarik selain baca puisi, ya basket. Emang Kakak mau gue tetap ikut lomba basket?" Barsha mengangkat sebelah alisnya.

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang