Our Promise 27 - Memories

3 1 0
                                    

Di bangsal rumah sakit, cowok itu terbaring dengan mata tertutup rapat. Hidungnya disumbat alat bantu pernapasan. Ruangan dipenuhi oleh bunyi dari mesin elektradiogram.

Di sampingnya, laki-laki lain terduduk dengan sorot mata kosong. Dia menatap lurus ke wajah cowok yang tidak berdaya itu. Hampir menangis jika saja ia tidak menahan mati-matian agar air matanya jangan keluar.

"Udah tiga hari lo nggak bangun-bangun," lirihnya serak. Bibirnya bergetar karena tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. Namun dia mencoba melanjutkan, "Nggak sedih lo liat gue merasa takut mulu?"

Liam berhenti sejenak. Menundukkan kepala karena tidak sanggup lagi menatap wajah pucat adiknya. "Gue mati-matian kerja sana-sini buat lo. Tapi lo malah seenaknya pulang hujan-hujanan. Nggak sayang lo sama gue? Nggak bisa ngehargain lo, perjuangan gue untuk ngidupin lo kayak gimana?!" Mungkin karena emosinya sudah tidak stabil lagi, pada akhirnya Liam mengeraskan suara. Bertepatan dengan setetes air mata yang mengaliri pipinya.

"Nggak ada yang peduli sama lo selain gue, Bar .... Tolong bangun ...." Bahu Liam bergetar. Tangisnya pecah.

Mungkin, Liam yang orang kenal adalah Liam yang kuat, Liam yang ceria dan Liam yang penuh semangat.

Mungkin, orang mengira bahwa hidup Liam sempurna karena Liam memiliki rumah yang mewah. Mobil yang mewah. Baju-baju brand ternama. Adik yang baik. Dan orangtua yang kaya.

Tapi itu asumsi mereka saja. Seseorang tidak akan pernah benar-benar tahu kehidupan orang lain, mau sedekat apapun hubungan mereka.

Liam kuat, ceria dan penuh semangat? Itu semua dia lakukan demi Barsha. Dia tidak boleh lemah, karena Barsha menjadikannya tempat bergantung. Dia tidak boleh sedih, karena Barsha menjadikannya tempat berkeluh kesah. Dia harus semangat demi menghidupi adiknya dan dirinya.

Liam selalu sanggup melakukan apapun jika itu berkaitan dengan Barsha.

*

"Barsha di mana, Yah?"

Pria yang sibuk dengan berkas-berkasnya itu mengerjap saat mendengar suaraku. Dia mendongak, mengerut sambil menatapku. "Lah, kenapa tanya Ayah?" jawabnya sedikit bingung lalu melanjutkan pekerjaan tadi.

"Barsha udah tiga hari nggak masuk sekolah. Nggak ada kabar sama sekali. Teman-temannya pada nggak tau. Kak Liam juga nggak bisa dihubungi," Aku berhenti sejenak. Menatap tajam Ayah yang saat ini kembali menatapku. "Ayah pasti tau kan, Barsha kenapa?" aku menekan disetiap kata. Mencoba mengintimidasi pria yang berstatus sebagai dokter itu.

Tapi, Ayah memiliki watak yang hampir sama seperti Barsha. Mereka ... tidak bisa dipengaruhi. Mereka bisa mengatur emosi untuk mengelabui orang lain. Tapi karena sudah terlalu hapal, aku bisa membacanya.

"Jawab yang jujur, Yah!" tekanku.

Ayah diam. Ekspresinya kini tidak bisa dibaca. Dia menatapku lekat. "Dia dirawat. Sudah tiga hari ini belum sadar," jawab Ayah.

Aku menggepalkan kedua tanganku. Menahan air mata yang ingin keluar. "Kenapa Ayah nggak beri tau Sea?"

Ayah menghela lelah. "Kamu juga kurang sehat, Sea ...."

"Tapi Barsha dirawat, Yah! Dia sakit! Dia butuh Sea!" Aku membentak Ayah. Napasku menggebu dengan jantung yang berdetak semakin cepat.

"Barsha bakal baik-baik aja, Sayang. Dia bakal baik-baik aja. Walaupun tanpa kamu di sana."

Jawaban Ayah membuatku terperangah marah. Rahangku mengetat. Dengan penuh emosi aku berteriak lalu mengacak-acak berkas-berkas Ayah yang tersusun rapi.

Ayah yang melihat aku sudah tidak terkendali lagi langsung berlari mendekat. Dia memegang kedua tanganku kuat-kuat sambil berusaha menenangkanku. Tapi emosiku benar-benar sudah tidak bisa dikontrol lagi. Bahkan saat ini aku sudah mulai mencakar-cakar Ayahku.

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang