Chapter 10. Hidup Seperti Larry

70 21 4
                                    

Sepulang sekolah sesuai dengan janji Alandra tadi sore--melaporkan kelakuan Nalendra yang sudah kelewat batas. Abangnya itu sudah 3 kali lupa menjemput karena gadis bernama Aruma.

"Bunda!" Alandra berdiri di hadapan Sang Ibunda. Kedua tangannya mengepal di samping, wajahnya memerah menahan tangis.

Helaan napas Karin terdengar semakin berat saja setiap harinya. Dia menyandarkan punggung di sofa--merelakan tontonan dramanya untuk meladeni si bungsu.

"Kenapa lagi, Dek?"

"Abang lupa jemput lagi!" adunya.

Karin lantas menoleh, mendapati Nalendra berjalan santai masuk sambil membawakan sekotak martabak. "Maaf, Bun, soalnya tadi beneran lupa. Abang nganterin Aruma pulang, kasian gak ada yang jemput, rumahnya juga jauh, dan harus lewatin jalan sepi. Jadi, Abang gak tega terlebih dia pacarnya Abang," jelasnya.

Karin acuh dengan penjelasan Nalendra juga dengan Alandra yang terus menimpali dengan emosi. Dia sibuk menikmati martabat panas yang dibawakan oleh putra sulungnya. Sejujurnya Karin tahu betul maksud tersembunyi dari martabak ini, tentunya agar Nalendra tidak mendapat amarahnya--tidak sekali dua kali Nalendra lupa menjemput Alandra dan sepulangnya si bungsu selalu mengadu padanya, jika belum tidur maka Alandra tidak akan berhenti mengomel.

Sepertinya pula hal-hal itu akan terjadi untuk yang kesekian kalinya.

"Abang alasan aja tuh, Bunda! Besok pokoknya Adek mau naik motor sendiri!"

"Gak boleh." Karin menyela dengan lirikan tajam. "Minggu depan, ya, Minggu depan. Titik gak pake koma, tawar menawar, atau negosiasi. Kalo masih protes gak usah naik motor sekalian sampai kamu lulus sekolah."

Ancaman Karin berhasil membuat Alandra bertekuk lutut ketakutan. Tetapi Alandra malah semakin pundung lalu berjalan cepat menuju kamar tanpa menghiraukan permintaan maaf dari Nalendra--yang masih tidak bosan diucap meski Sang Adik tidak memungkiri.

"Gimana nih, Bun? Ngambek lagi si bocil."

"Ya, gimana? Itu urusanmu, makanya pintar-pintar bagi waktu. Tahu sendiri Adikmu itu pundungan," jawab Karin. Sembari melahap habis martabaknya.

Nalendra berdecak sebal kemudian menyusul Adiknya ke kamar. Dia bahkan tidak sempat untuk membersihkan diri. Kendati dirinya sudah memiliki seorang pacar, hal tersebut tidak akan menggeser prioritasnya dalam menjaga Sang Adik. Sebab, dari dulu dia sudah berjanji untuk selalu berada di sisi Adiknya sampai anak itu memiliki seorang wanita pengganti dirinya.

Pintu kamar Nalendra ketuk sampai lima kali. "Dek, Abang minta maaf. Jangan ngambek, dong."

"Bodoamat! Gak usah peduli lagi sama Adek. Perduliin aja cewe itu!"

"Abang peduli sama dua-duanya, kok."

"Kalo gak bisa milih mending pergi! Berisik!!!"

Nalendra memijat pelipisnya pening. Pintu kamar dia buka sedikit, menempatkan bibirnya di dekat pinggiran pintu kemudian berkata, "Abang, 'kan, sayang dua-duanya masa disuruh milih, sih."

Karena tidak ada jawaban Nalendra mempersilahkan diri sendiri untuk memasuki kamar Adiknya. Rupanya di dalam Alandra sedang asyik bermain PS sambil memakan burger yang Nalendra belikan.

"Kirain kalo marah gak laper." Nalendra dikacangi. Lirikan mata saja tidak dia dapatkan dari Sang Adik.

Kemudian Nalendra mendekat, memeluk leher Adiknya dari belakang. "Adek kesayangannya Abang Nalen, yang gumus, imut, lucu, pendek, kecil, jangan ngambek dong. Abang minta maaf, tadi Abang beneran lupa."

Alandra bergidik geli. Dia menyentak kasar Sang Abang kemudian melempar stick PS nya ke perut Nalendra. Tidak perduli jika mungkin saja itu terasa sangat sakit--karena Nalendra mengaduh kencang setelah stick keras itu menghantam perutnya.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang