Chapter 22. Rahasia Kecil Kami

88 20 7
                                    

Penyesalan itu selalu datang di akhir. Namun, hingga hari ini Nalendra belum memahami rute jalan yang dia ambil. Apakah keputusannya salah? Nalendra itu terlalu berpikir. Menjadi seorang yang tidak bisa mengambil keputusan. Tidak selalu sebenarnya, hanya saja akhir-akhir ini dirinya menjadi sosok manusia yang bimbang.

Dilarang datang semalam entah karena alasan apa oleh Sang Ibunda, akhirnya Nalendra mengunjungi rumah sakit keesokan paginya. Setelah pintu dibuka selimut masih membalut rapi Adiknya di atas ranjang. Tak terlihat eksistensi orang lain di sini. Sekadar secarik kertas yang ditempel di pintu laci. Mungkin itu dari Surya—berisikan pesan bahwa Alandra harus makan, minum obat, dan jangan merepotkan sampai Ayah, Bunda, atau Nalendra menemani di ruangan.

Sejak duduk di kursi samping ranjang Nalendra lebih banyak melamun. Menatap miris selang biru kecil yang terpasang di lubang hidung Adiknya. Kata Sang Ayah--lewat chat semalam Alandra seringkali sulit bernapas dan sedang dilakukan pemeriksaan lebih berlanjut.

"Dek, ayo bangun, Abang mau ngomong," bisik Nalendra, sesekali memainkan selang infus Sang Adik--sengaja mengganggu tidur Alandra.

Kemudian Nalendra diam sejenak. Menyadari dengan penuh bahwa apa yang hari ini terjadi adalah karena dirinya sendiri. Andai saja kemarin Nalendra lebih tegas dengan dirinya sendiri, lebih bisa memilah mana yang baik dan salah.

Sepasang telinga Nalendra berdengung sepi. Tidak terbiasa hidup semalaman tanpa celotehan berisik Sang Adik. Saat berjauhan pun Adiknya masih memaksa mengoceh di telinganya lewat telepon.

Gemuruh langit terdengar menggelegar di pagi hari. Gerimis sudah mulai mengguyur bumi lagi. Petir terus menyambar dari berbagai arah. Di tengah kejadian itu ponsel Nalendra berdering, sebab berada di atas nakas getarannya cukup berisik. Nalendra pun segera mengambilnya, mengangkat panggilan yang berasal dari kekasihnya.

"Kenapa, sayang?"

Mendengar kalimat itu terlontar dari bibir Abangnya—bahkan setelah kejadian yang menimpa dirinya. Alandra semakin yakin untuk tidak bangun lagi, dia tidak sudi. Sejujurnya Alandra sudah bangun, hanya saja kepalanya terlalu pening sampai tidak kuat membuka mata.

"Jemput kamu? Dimana?"

"Di rumah, sayang. Bisa, ya? Aku buru-buru banget nih ada acara sama temen-temenku di cafe. Kamu mau ikut juga gak apa-apa, nanti aku traktir."

"Kamu gak sekolah?"

"Aku izin, ini urusan penting. Kenapa nanya-nanya?"

"Urusan penting apaan di cafe? Sama temen-temen lagi?"

"Ck, kok kamu sewot sih, sayang? Mau jemput apa engga?!"

"Eum ... bukan gitu, Rum, tapi ... ---"

"Cepet, ya! Aku tunggu di depan rumah!"

Panggilan di akhiri secara sepihak. Nalendra menatap ponselnya selama beberapa saat dalam diam. Dia bingung harus memilih yang mana. Menjemput kekasihnya atau tetap duduk disini menunggu Adiknya bangun?

Setelah berpikir cukup lama Nalendra pun bangkit dari duduknya. Namun, dilangkah ketiga mendadak dia berhenti. Nalendra menoleh lagi ke belakang, memerhatikan Adiknya yang masih tidur lelap.

"Jangan gila, Len. Adikmu itu sakit, jangan di tinggal demi masalah gak penting," gumam Nalendra. Akhirnya dia kembali duduk di kursi.

Nalendra membuka ponselnya lagi untuk mengetik pesan singkat pada Aruma bahwa dirinya tak bisa menjemput gadis itu kali ini.

Saya
sayang, maaf ya aku gak
bisa jemput kamu.

Saya
kamu pesen ojek online dulu, ya?
nanti uangnya aku ganti sebagai
permintaan maaf.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang