Chapter 3. Si Paling Sewot

117 23 6
                                    

Malam itu, sidang tetap berjalan. Nalendra dan Alandra duduk manis di lantai sementara Ayah dan Bunda mereka duduk di atas sofa. Wajah garang Karin membuat Alandra tak berani berkutik. Berbeda dengan Surya yang tampak santai sambil memenuhi mulutnya dengan makanan.

"Jadi, siapa yang mau ngomong duluan?" tawar Karin.

Alandra merinding, semakin mendekatkan diri pada Sang Abang. Tangannya tidak bisa diam menarik-narik tali Hoodie Nalendra yang panjang sebelah. Dia terlalu takut dan gugup dengan amarah Sang Bunda yang tak kunjung mereda.

"Oke, kalau gak ada yang mau bicara lebih dulu Bunda yang bicara. Dan gak ada yang boleh motong omongan Bunda."

"Iya, Bunda," jawab Kakak beradik itu bersamaan.

"Bunda mau kasih beberapa pertanyaan dan kalian berdua harus jawab. Bunda mau denger cerita dari sisi Abang dan sisi Adek. Satu lagi, kalau ada yang lagi cerita gak boleh dipotong." Karin melirik putra bungsunya di kalimat terakhir. Merasa tersindir Alandra mencebikkan bibir.

"Oke, pertanyaan pertama. Kenapa kalian berantem tadi di pintu? Sampe rambut kalian banyak gulalinya? Dan haruskah gebrak-gebrak pintu rumah?" tanyanya beruntun sontak membuat kedua putranya tak berkutik.

Kedua anak laki-laki Karin menunduk dalam, enggan bertatapan. Karin pun menghela napas sabar, hati kecilnya sedikit tidak tega jika harus setegas ini pada kedua putranya sekarang. Apalagi Alandra baru saja terluka, walau itu karena kecerobohannya sendiri.

"Ayo jawab, Abang. Kenapa?" Karin melirik si sulung sebagai pembicara pertama.

Nalendra mendongak. Menatap kedua orang tuanya bergantian. "Tadi Abang terpaksa pulang bareng Adek karena Adek ganggu acara nge-date Abang."

"Ganggu gimana?"

"Diem-diem ngintip Abang, terus dia kena karma jatoh dari tembok."

"Lah? kok bisa gitu, Bang?" tanya Surya merasa tertarik dengan pembahasan.

Nalendra mengedikkan bahunya tak tahu. Menyerahkan jawaban selanjutnya pada Sang Adik.

Karin beralih pada putra bungsunya, meminta jawaban. "Ceritain, Dek. Jangan ada yang kurang atau dilebihkan. Bunda gak suka, nanti hukuman kamu Bunda tambah kalau sampai ketahuan," ancamnya sambil memelototi si bungsu.

Alandra sempat mencuri lirik tajam pada Nalendra di sisinya. Sedikit merasa kesal, karena harus terjebak di situasi seperti ini.

"Alan pulang les kayak jam biasanya. Terus karena lihat ada festival kecil di deket danau Adek mampir deh. Eh, malah ketemu Abang lagi berduaan sama pacar barunya itu. Sebenernya niat Adek ngikutin Abang itu mau porotin uangnya. Uang jajan Adek habis, hehehe." Alandra memamerkan rentetan giginya, terkekeh-kekeh gugup.

"Terus kok bisa jatuh dari tembok itu gimana ceritanya, Dek? Ayah bingung deh, kamu ngintipin sambil nemplok kayak cicak, begitu?"

Alandra menggelengkan kepala. "Adek ngintipnya dari atas, Yah. Terus tangannya gak sengaja neken batu, Adek kaget, terus jatuh deh. Untung dindingnya gak tinggi jadi Adek gak gegar otak. Dan yang paling penting ketampanan Adek gak berkurang sama sekali."

Nalendra mendecih menahan cibiran julidnya. Kalimat yang dilontarkan Alandra terlalu tinggi, jika jatuh mungkin anak itu akan langsung menembus inti Bumi.

"Udah segitu aja?" tanya Karin.

Suasana mendadak hening. Alandra melirik Sang Abang sekilas. Ah, ternyata Abangnya sudah memperhatikan dirinya sejak tadi--dengan lirikan setajam ujung cutter, dan cengiran kecil di ujung bibirnya. Tampak menyebalkan jika dilihat dari mata Alandra.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang