Alandra meringis kesakitan. Dia memegangi handuk kecil berbalut es di atas tulang keringnya. Sementara tangannya yang lain terus berusaha menampik jari Karin yang hendak membersihkan luka di dahinya.
Karin sampai tak habis pikir. Bagaimana hal ini bisa terjadi pada putra bungsunya. Setelah tiba di rumah, Nalendra masuk ke kamar tanpa sepatah kata. Sementara Adiknya ditinggalkan begitu saja dengan sekantung kresek berisi obat-obatan.
"Kamu kenapa bisa sampe babak belur gini sih, Dek? Heran deh Bunda ada aja tingkahnya!" keluh Karin merasa mulai lelah dengan tingkah anak bungsunya.
"Maafin Adek, Bun," balas lirih Sang putra dengan kepala sedikit menunduk. Meratapi luka memar di kedua kakinya.
Setelah selesai mengobati luka putranya, Karin juga membantu Alandra untuk makan. Ada sedikit rasa cemas di benaknya, sebab setiap suap yang masuk Alandra nampak ingin sekali memuntahkannya.
"Kenapa, sayang? Perut kamu mual?" tanyanya seraya mengusap lembut dahi Sang putra yang berkeringat.
Alandra menggeleng pelan, "Enggak apa-apa, Bunda."
Tidak seperti yang diucap. Ekspresinya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman. Wajah pucat Alandra sampai membiru karena menahan mual mati-matian. Kedua tangannya terkepal kuat dibalik selimut. Pelipisnya terasa semakin berkeringat, entah karena panik atau alasan lain yang Alandra tidak ketahui.
"Adek, kamu beneran gak apa-apa, sayang? Bilang sama Bunda kalau ada yang sakit." Mangkuk berisi sup hangat pun Karin letakkan di atas nakas. Kemudian tangannya terangkat mengecek suhu tubuh putranya.
"Kok bisa anget lagi, sih? Kamu ngapain aja?? Kayaknya baru kemarin malem lho dinasehatin sama Abangmu."
"Eum ... gak ngapa-ngapain kok, Bunda," cicit Alandra.
"Yang bener? Abangmu kok kayak ngambek gitu? Mukanya sampe merah banget, kamu buat dia marah? Alan, sayangku, anakku, kamu itu udah besar, harus sadar diri jangan kekanakan terus," tutur Karin lembut.
Alandra bungkam sampai kegiatan makannya selesai. Merasa tidak ada gunanya menanyai si bungsu, Karin pun memilih untuk keluar saja.
Setibanya di ruang keluarga Karin melirik putra sulungnya yang sedang makan sendirian. "Bang," panggilnya seraya menghampiri.
Kursi Karin tarik cepat, duduk dengan tergesa. "Bang, Adek kenapa?" tanyanya tidak mau berbasa-basi.
"Dia ikut tawuran, terus luka-lukanya itu karena dia dipukuli habis-habisan sama kelompok anak SMA."
Nalendra meletakkan alat makannya, dia menatap sebentar Sang Ibunda yang nampak tidak puas dengan penjelasan singkatnya. Sebelum ditanya kembali, Nalendra pun melanjutkan.
"Abang lihat Adek sama Dewa berhenti di depan gang, Abang pikir mereka gak bakal ngapa-ngapain. Jadi, Abang tinggal masuk aja ke dalem supermarket. Pas Abang keluar motornya udah ilang, tapi perasaan Abang gak enak. Jadi, Abang yakinin diri buat masuk lebih dalem ke gang nya.
Abang kaget lihat motornya hancur di bagian belakang. Terus Dewa lagi dipukulin sama anak-anak SMA. Kayaknya mereka anak-anak yang biasanya tawuran di daerah itu. Lihat ada Abang disana Dewa nunjuk ke deket jalur masuk gang lain yang posisinya agak jauh.
Abang langsung sadar kalau itu Alandra. Tanpa pikir panjang, Abang ikut berantem sama mereka. Untungnya mereka bisa cepet dikalahin jadi langsung pergi," jelas panjang Nalendra tanpa menjeda.
Karin terkesiap. Dia sangat amat terkejut dengan penjelasan yang baru saja putra sulungnya beberkan. Tidak terpintas sedikitpun pemikiran bahwa luka-luka itu anak bungsunya dapatkan karena melakukan hal yang diluar nalarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Fiction généraleKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...