Weekend. Siapa yang tidak suka dengan 2 hari ini? Apalagi jika diawali dengan udara segar serta matahari yang bersinar hangat. Pagi ini, tepatnya di hari Sabtu, akhirnya Surya pulang setelah hampir tidak pulang selama seminggu.
Keadaan keluarganya pun sudah lebih membaik. Karin mulai berinteraksi seperti sediakala dengan putra bungsunya. Begitu juga dengan Nalendra. Selama lima hari terakhir ini mereka hanya berpura-pura marah saja, setelah dipikir-pikir enak juga mengerjai si bungsu. Ulah yang biasanya membuat satu keluarga mengelus dada sekarang sudah hampir tidak ada. Jika setiap bulan seperti ini mungkin skandal Alandra bisa bersih.
Hari ini, Surya mengajak keluarganya untuk membersihkan gudang di belakang rumah. Tapi ternyata Karin juga ingin membersihkan kolam ikan yang berada tak jauh dari gudang tersebut. Akhirnya Karin bergerak membagi tugas, yaitu, Suaminya dan putra bungsunya membersihkan gudang sementara ia dengan putra sulungnya membersihkan kolam ikan.
"Kok Abang sih, Bun? Males, ah, pagi-pagi udah basah-basahan," tolak Nalendra sambil menguap lebar dan merentangkan tubuhnya.
"Eleh, banyak alasan kamu, Bang! Lagian belum mandi juga. Cepet ambil sikat di kamar mandi, jangan lupa embernya!"
"Alandra aja, ya, Bun? Ya? Ya? Ya? Abang pengen bersihin gudang," pinta si sulung memohon-mohon.
"Gak. Kalo Adek kamu yang bersihin, ikan-ikan Bunda bisa mati gara-gara dia buat mainan. Gak inget dulu ikan Bunda mati berjamaah??"
Nalendra mencebikkan bibirnya. Masih tak mau dengan bujukan Sang Bunda. "Tapi itukan dulu, Bunda. Adek masih umur delapan tahun, wajar dong kalo lagi nakal-nakalnya."
"Pokoknya gak ada tawar menawar. Cepet ambil sikat sama embernya!"
Sementara di gudang, suasana tampak mencekam. Alandra membersihkan debu-debu di rak wadah buku-buku usang. Dan Surya mengelap beberapa perabotan lama yang sayang untuk dibuang.
"Ay--," Alandra diam lagi. Ia mengurungkan niat untuk memanggil Sang Ayah.
Namun, sepertinya Alamat tak akan punya kesempatan lain jika bukan hari ini. "Ayah ...," cicitnya sangat amat pelan. Setara dengan suara semut yang sedang merambat di jari telunjuknya.
"Aw!!" Semut itu menggigit jari Alandra. Kemoceng di tangannya pun terjatuh ke bawah. Tapi sungguh Alandra tidak melihat jika Sang Ayah sedang berada tepat di bawahnya.
Posisinya Alandra menaiki sebuah kursi kecil agar dapat menggapai bagian rak paling atas. Itulah sebabnya dia tak melihat eksistensi Sang Ayah di bawah.
"Aduh!" Surya mendongak dengan tatapan penuh tanda tanya pada anak bungsunya.
"Hehe, maaf Ayah, tadi tangan Adek digigit semut."
Surya menggelengkan kepalanya sambil berdecak. "Ayah marah?" tanya Alandra takut-takut.
Surya kembali menggelengkan kepala. Kemudian berbalik untuk melanjutkan pekerjaan.
"Kalo gitu ambilin kemocengnya dong, Yah."
Kepala Surya menoleh. Alisnya kembali menukik tapi lebih tajam dari yang tadi.
Alandra menggaruk tengkuk kebingungan. Apa ada yang salah dengannya? Atau dengan kalimatnya barusan? Kenapa Ayahnya menatapnya seakan dirinya baru saja membakar sertifikat rumah.
"Ambilin, Yah, itu di bawah." Alandra menunjuk kemoceng yang berada di dekat kaki Sang Ayah. Siapa tahu tadi Ayahnya ternyata tidak mendengar.
Surya sepenuhnya menghadap Alandra. Sembari berkacak pinggang dengan sepasang alis yang menyatu.
Sementara itu, Alandra berdiri kaku di atas kursi. Dengan kedua tangan di samping badan, memilin celana pendeknya yang sedikit kotor. Alandra mengulum bibir, melirik ke sekitar agar tidak berkontak mata dengan Ayahnya. Sambil berpikir dimana letak kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
General FictionKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...