Nalendra dan Alandra didudukkan bersama di ruang makan. Sebelum memulai sidang Karin menyuruh kedua anaknya untuk makan lebih dulu.
Suasana makan bersama berubah hening dan canggung. Ruangan itu di isi oleh suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Baik Nalendra maupun Alandra sama-sama enggan untuk saling bicara. Padahal mereka duduk bersebelahan.
Surya sebagai Ayah dari dua pemuda itu pun turun tangan. Untuk mencari akar masalah dari perdebatan kedua anaknya tadi sore. Dia memulainya setelah kegiatan makan selesai.
"Jadi, permasalahannya apa?" Ia membuka suara, membuat semua mata tertuju padanya.
"Anak bungsu Ayah tuh jadi manusia ribet, ruwet, rewel, ngeselin, huh!" Nalendra memulai dengan lirikan tajam.
Alandra tak mau kalah. Dia balas melirik sinis Sang Abang. "Memangnya Abang gak pernah? Namanya juga pertama kali hidup!"
"Abang juga pertama kali hidup, tapi gak usil kaya kamu!"
Alandra beralih menatap kedua orangtuanya. Meminta validasi dari ucapan Nalendra barusan. "Emang bener, Yah, Abang gak pernah nakal? Dilihat dari mukanya aja kaya preman pasar yang suka malak."
"Kamu nge-roasting muka Abang!?"
"Enggak. Emang kenyataannya begitu, gak pernah ngaca kah?" balas Alandra sengit.
"Gak apa-apa, yang penting cakep. Lah kamu? Kayak bakpao kurang ragi, peot sana peot sini!" sahut Nalendra tak mau kalah argumen.
"Apa?!" Alandra mulai meninggikan suara.
"Kenapa? Gak terima? Kenyataannya gitu kok, makanya ngaca!"
Surya memijat pelipisnya pening. Ia menoleh pada Sang Istri yang tengah menatapnya dengan senyum tipis dengan artian miris.
"Bun, kita dulu buatnya gimana sih? Pake gaya apa, ya, kok jadinya Reog Ponorogo begini?"
"Tugas Mas sekarang lerai anak-anak, aku mau beresin meja makan dulu, ya. Bye bye suamiku, semoga berhasil." Karin menahan tawanya seraya membawa tumpukan piring ke dapur.
Surya beralih menatap kedua anaknya lagi. Mereka masih asyik bertengkar, beradu mulut dan untungnya tidak sampai baku hantam.
"Anak-anak, berantemnya nanti lagi. Sana bantuin Bunda cuci piring," titahnya berhasil membuat 2 anak itu diam dan menurut patuh.
"Dek? Kok kamu cuma bawa gelas kosong?" protes Nalendra.
"Aku, 'kan, Adek. Anak kecil gak boleh bawa yang berat-berat, Bang."
"Alesanmu banyak banget sih, Dek. Abang aduin Ayah, nih, kalo kamu cuma bawa gelas!"
Alandra mendecih, "Tukang ngadu!" sinisnya lalu menjulurkan lidah sengit. Lalu pergi membawa satu gelas ke dapur.
Jika saja kedua tangan Nalendra tidak penuh dengan mangkuk dan piring dia sudah memukul kepala Adiknya. Geram sekali melihat wajah menyebalkan Alandra saat memeletkan lidah.
"Loh? Kok kalian disini?" tanya Karin kebingungan. Kedua anaknya sibuk berkutat dengan cucian piring.
Alandra menoleh sambil tersenyum lebar. "Alan mau bantu Bunda cuci piring. Alan, 'kan, anak baik dan penurut kesayangan Bunda. Gak kaya tetangga sebelah tuh," sindirnya sambil melirik Sang Abang.
"Hm, curang, ya, kamu, Mas. Disuruh bikin akur malah di kirim kesini!" batin Karin menahan kekesalannya.
"Yaudah, kalian jangan berantem, ya. Ini barang-barang penting jangan sampe ada yang pecah, ngerti?"
"Oke."
Setelah Sang Bunda pergi Kakak beradik itu langsung beradu pandang. Sama-sama tajam dan menyimpan dendam kesumat. Tapi untungnya mereka tidak kembali adu mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Ficción GeneralKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...