Manik coklatnya mengerjap pelan beberapa kali. Menyorot bulatan putih diluar jendela kecil yang terletak tak jauh darinya. Bosan dengan warna hitam, matanya untuk beralih pada dinding kamar. Punggungnya bersandar pada bantal yang dia susun meninggi. Kemudian helaan napas panjang berhembus pelan untuk yang kesekian kalinya pada satu jam terakhir.
Rasa sakit di dadanya merayap sampai ke kepala, kemudian turun hingga ke kaki. Lalu terbatuk keras, tidak sekali dua kali orang-orang rumah menanyai dirinya. Tapi dia mengabaikannya, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Kendati dirinya sendiri tahu tubuhnya ini sudah sakit.
Kotak kardus berisikan donat masih berada di pangkuannya. Hanya dia pandangi lesu tiga buah donat rasa yang tersisa. Nafsu makannya mendadak hilang--mengingat sesuatu yang telah disobeknya tadi sore adalah barang penting. Mungkin bisa mendapatkannya lagi tapi risikonya sangat tinggi.
"Kalau aku sakit, gimana, ya?" monolognya memandang kosong kotak donat tersebut.
Ada banyak artian dalam satu kata 'sakit'. Yang berasal dari hati, tubuh, dan mental. Alandra menerka-nerka jika sakit yang datang membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Kira-kira bagaimana hidupnya nanti? Apakah orang-orang akan selalu berada di sisinya? Atau malah dirinya ditinggalkan sendirian? Mengurusi orang sakit itu tidak mudah, bukan?
Terlalu asyik melamun hingga Alandra tidak mendengar suara Sang Ibunda yang memanggil dari lantai bawah. Sampai akhirnya suara itu mendekat di depan pintu kamar.
"Lan, udah tidur belum?"
"Belum, Bunda, kenapa?" tanya Alandra seraya menyibak selimut hendak beranjak dari tempat tidur.
"Ayah pulang. Dia bawa martabak manis kesukaan kamu, makan dulu, yuk."
Telapak kaki Alandra mendadak urung untuk menapak di lantai. Mendengar kata 'Ayah pulang' selalu membuat dirinya antusias dan bahagia. Tapi tiba-tiba Alandra merasa kurang bersemangat, cukup banyak hal yang membuat dirinya takut akhir-akhir ini. Hingga tanpa sadar dirinya kembali melamun dan tidak mendengar panggilan dari luar pintu kamar.
Lantas, Alandra menggelengkan cepat kepalanya. "Kenapa malah mikirin hal-hal aneh, sih??" Alandra merutuki diri sendiri, memukul pelan pipinya kemudian beranjak menuju pintu.
"Nanti nyusul aja, ya, Bunda. Adek mau ke kamar mandi sebentar."
Sesudah pintu kamar anak bungsu Karin ditutup, wanita itu tampak berdiam diri sebentar disana. Menggelengkan kepala beberapa kali lalu pergi menuju tangga.
Lantai bawah sudah dibisingkan dengan Nalendra yang terus mengomel karena tidak di izinkan mengambil makanan. Kata Sang Ayah, dirinya harus menunggu Adiknya turun lebih dulu. Padahal isi makanannya sangat banyak, apakah Sang Ayah pikir Nalendra akan menghabiskannya? Lagipun porsi makan Nalendra tidak sebanyak si bontot itu.
"Ayah, makan sekarang, aja, ya?? Abang udah laper pake banget-nya double tiga!"
"Nanti Adikmu tantrum kalo isi martabaknya gak lengkap pas dia turun," balas Sang Ayah.
"Yang sabar ya, Bang, ya," sahut Sang Ibunda dari ujung anak tangga.
Nalendra mendecih kesal seraya bersedekap dada. Selang beberapa saat akhirnya Alandra turun dan langsung menempel di punggungnya--memeluk dari belakang dan sedikit mencekik leher Nalendra. Sepertinya sehari tidak mengusik dirinya, Adiknya itu langsung tipes.
Satu potong martabak manis Nalendra ambil lalu memasukkannya ke mulut Sang Adik. "Lama banget! Abang udah busung lapar nih!"
"Hehehe, tadi Adek pup dulu, Abang yang sabar dong!" balas Alandra beralasan.
"Pas banget abis dikeluarin harus di isi lagi buat stok sampe pagi. Nih, abisin semua." Surya mendorong pelan 4 kotak berisi makanan-makanan manis kesukaan putra-putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Fiksi UmumKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...