Chapter 4. Terlalu Bar-bar atau Sangat Sabar

110 23 3
                                    

Matahari sudah tak malu menampakkan diri. Sinarnya menghangatkan sebagian belahan bumi. Lampu jalan yang remang telah mati. Para pengendara meramaikan jalanan kota kembali. Udara sejuk di pagi hari mulai tercemar dengan asap kendaraan yang saling beradu.

Sudah pukul 6 lebih 45 menit tapi Nalendra dan Adiknya yang super duper cerewet itu belum sampai di tujuan. Karena berangkat sedikit kesiangan mereka terjebak macet yang agak parah. Ditambah angin pagi terasa sedikit membakar kulit. Alandra terus mencak-mencak di atas motor Nalendra karena tak kuat menahan rasa gerahnya.

"Tabrak aja lah, Bang! Gak kuat Adek panas banget, arghh!!"

Merasa kesal karena tak mendapat respon dari Sang Abang, Alandra berinisiatif untuk turun dari motor. Dia menyingkirkan tangan Nalendra dari stang motor.

"Minggir, Bang. Kalo Abang gak bisa biar Adek aja. Hus! hus!"

"Kamu duduk diem di belakang atau Abang tinggalin disini?! Sekalian tuh gabung circle pengamen atau anak punk."

Alandra mendengus kakinya dihentak-hentakkan ke aspal. Sialnya Alandra lupa kalau dia tidak memakai sepatu, hanya kaos kaki putih saja. Kakinya pun kepanasan, Alandra melompat-lompat menghindari sengatan panas aspal jalan sampai tak sengaja menginjak batu di tepi jalan.

"Aw! Anjir sakit banget apaan tuh??"

Nalendra menoleh dengan wajah memerah kesal. Dia menarik tas di punggung Adiknya sampai membentur badan motor. Kemudian mengisyaratkan agar Alandra segera naik.

Melihat wajah garang Sang Abang, nyali Alandra langsung menciut. Dia segera naik ke atas motor dan duduk diam disana. Hanya sebentar sih, selanjutnya mulut Alandra mengomel lagi.

Setelah terbebas dari macet, Nalendra menarik gas motornya sampai melewati batas kecepatan. Itu dia lakukan karena jam gerbang ditutup tersisa 8 menit lagi. Sementara di belakangnya Alandra menggenggam erat-erat jaket Sang Abang, takut jika tiba-tiba tubuh mungilnya tersangkut di dahan pohon.

Tapi kemudian Alandra mulai menikmati kecepatan ini. Tangan kanannya melepas perlahan cengkeraman pada jaket lalu terangkat tinggi ke atas.

"Ayo Bang! jangan kasih kendor!"

"Bocah setan," batin Nalendra.

♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦

Bel baru saja berbunyi, menandakan jam pelajaran ke-5 akan segera dimulai. Para siswa SMP kelas 9A sedang disibukkan dengan tugas Bahasa Indonesia. Yaitu, sebuah penampilan drama kreasi yang akan dipersembahkan setiap kelas.

Sementara yang lain sibuk berdiskusi, 3 siswa lain malah memojok sambil bermain ludo di ponsel. Mereka adalah Bastian, Dewa dan si krucil Alandra. Akhir dari permainan di menangkan oleh Bastian. Dan yang kalah harus menuruti permintaan apapun yang diajukan oleh si pemenang.

"Jadi, apa permintaan lo, Bas?" tanya Dewa.

"Jangan yang aneh-aneh!" sahut Alandra.

Bastian berdecak sebal, "Belum juga gue ngomong, udah protes aja lo, cil!"

"Cih, gak sadar umur. Kita sama-sama bocil, ya!"

"Udah deh. Ayo cepetan kasih tau kita tantangannya!" sela Dewa tak sabaran.

Bastian tersenyum tipis, dia melirik jendela yang terbuka di belakang Alandra. "Ayo bolos."

Kedua mata Alandra membelalak. "Tuhkan! Kamu mah pasti yang aneh-aneh, Bas! Gak mau, pokoknya aku gak mau!"

"Cemen lo, Cil!" ejek Bastian sambil membalik ibu jarinya ke bawah.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang