"Astagfirullahaladzim! Kalian kok basah kuyup!?" pekik Karin, amat terkejut melihat putra bungsunya memeluk diri--menggigil kedinginan.
"Adek aja kali, Bun. Abang mah masih kering," bantah Nalendra lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Saat giliran Alandra yang hendak masuk, Karin tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Adek lewat belakang. Jangan lewat depan. Soalnya Bunda baru selesai ngepel rumah," perintahnya.
"Yahhh, Bunda! Adek udah gak tahan, dingin banget. Kalo Adek pingsan disini gimana??"
"Lebay banget, siapa suruh main hujan-hujanan??" balas Nalendra dari dalam.
"Nah! Abang bener tuh, ngapain coba Adek hujan-hujanan?"
"Main Bunda," cicit Alandra.
"Udah sana cepetan muter lewat belakang!"
Alandra bergegas berlari ke belakang. Terlalu tergesa mengambil langkah hingga kakinya tak sengaja terpeleset dan tubuhnya pun membentur tanah--untuk yang kesekian kali hari ini. Pinggulnya terasa sangat linu dan nyeri. Kemudian Alandra berjalan tertatih-tatih menuju pintu dapur untuk menuju ke kamar mandi.
Sebelum mandi, Alandra duduk sebentar di atas kloset. Dia menyandarkan punggung sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Pandangan matanya tampak mengabur selama beberapa saat. Itu terjadi secara berulang dengan jarak waktu tertentu. Rasa sakit di kepalanya pun baru kembali terasa, dan sayangnya lebih sakit dari sebelumnya. Biasanya, tubuhnya tidak selemah ini dengan air hujan. Itu sebabnya Alandra acuh dan selalu bersenang-senang dengan air hujan.
"Aduh, pusing banget jangan-jangan mau pingsan beneran," celotehnya masih sempat bercanda. Mencoba mendistraksi pikiran kalutnya. Karena jika terserang sakit, Alandra sadar dirinya akan berubah sangat manja. Meminta ini dan itu, lalu bagian terparahnya adalah terlalu berpikir buruk tentang penyakitnya.
Setelah merasa sedikit membaik, Alandra segera melaksanakan kegiatan mandinya. Namun, kala sibuk melepas seragam basahnya Alandra teringat jika belum mengambil pakaian ganti.
"Duh, gak bawa baju ganti! Bego banget heran, anak siapa sih ini??" Alandra mengacak-acak rambutnya frustasi.
Alandra membuka pintu, niatnya ingin diam-diam masuk ke kamar tamu dan mengambil bathroob disana. Tetapi ketika menunduk dia melihat setumpuk pakaian di depan pintu. Senyumnya merekah, dia segera mengambil pakaian itu dan kembali masuk ke kamar mandi.
Lelah dengan kegiatan mandi Alandra langsung naik ke kamar. Merebahkan tubuhnya membentang di tengah-tengah ranjang. Beberapa kali menarik dan membuang napas berat nan panjang. Kepalanya malah semakin pusing setelah mandi. Alandra pun memutuskan untuk tidur, siapa tahu besok pagi sakitnya menghilang.
Sementara itu di lantai bawah, Karin terlihat hanya duduk berdua bersama putra sulungnya. "Bang, Adek kemana? Masa belum selesai mandinya?" tanyanya, lelah menunggu si bungsu.
"Udah Bun, di kamar mungkin."
"Bangunin gih. Suruh makan dulu baru tidur. Tadi soalnya Bunda lupa masukin kotak bekal ke tasnya."
Pengakuan Bunda barusan membuat Nalendra sejenak berhenti menyendok nasi. Dia khawatir, Alandra itu anak yang suka jajan dan semenjak pindah sekolah uang jajannya di kurangi oleh Bunda sekaligus mengajari anak itu cara berhemat. Sebagai gantinya agar tidak kelaparan Bunda selalu membuatkan Alandra kotak bekal. Sudah dipastikan seharian penuh anak itu kelaparan, Nalendra juga sempat meninggalkannya di UKS untuk mengantar Aruma makan siang dan pulang.
Nalendra dilanda rasa bersalah. Sendok di tangannya dia taruh secara asal kemudian beranjak dari ruang makan. Pintu kamar tidak dia ketuk lebih dulu, langsung masuk ke dalam memastikan apa yang dilakukan Adiknya sebab kamar terdengar sunyi dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Ficción GeneralKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...