Lama-lama Alandra mulai terbiasa. Dengan kebiasaan baru semua orang. Meski beberapa di antaranya sulit untuk diterima olehnya. Terkadang--tidak, tapi sangat sering orang tuanya sibuk dan lebih memilih beristirahat di rumah dibanding mengunjunginya di rumah sakit.
Sejujurnya Alandra tidak tahu apakah kedua orang tuanya sungguh-sungguh beristirahat di rumah--seperti kata Abangnya--atau malah lanjut bekerja di malam hari.
Setiap pagi Nalendra menjadi mahkluk paling sibuk di dunia. Menulis beberapa pesan untuk suster yang datang ke kamar Alandra--karena dirinya tidak bisa berjaga Sang Adik selama seharian penuh.
Di sisi lainnya Alandra mulai sedikit terbiasa dengan kebiasaan berdiam diri di atas ranjang dari pagi sampai sore hari. Tidak sekali dua kali Nalendra pulang di jam yang sangat malam, seperti sepuluh, sebelas, dua belas, bahkan pernah sekali Nalendra pulang pada saat subuh sudah berkumandang.
Hingga detik ini pun Alandra masih kesulitan menikmati makanannya. Semua jenis makanan hampir tidak masuk degan sempurna ke dalam lambungnya. Alandra selalu memuntahkannya setelah 10 detik tertelan.
Menjadi satu-satunya orang yang dipasrahi untuk menjaga orang sakit ternyata tidak mudah juga. Awalnya Nalendra sangat bersimpati atas keadaan Adiknya tapi lama-lama dia jenuh juga. Tidak sekali dua kali Nalendra ingin berteriak di depan wajah Adiknya yang terus mengeluh dan tidak mau makan. Dirinya pun sama lelahnya, harus bekerja, bersekolah, lalu merawat Adiknya yang super duper rewel saat sakit.
Kendati demikian Nalendra tidak pernah sungguh-sungguh melakukannya. Selalu bersabar dan melapangkan dadanya. Bagaimanapun juga hal ini sangat tidak diharapkan terjadi.
"Makan lagi, ya?" tawar Nalendra, sambil menopang mangkuk berisi bubur yang masih penuh di tangan kiri.
Alandra menggeleng, mengangkat tangannya untuk menutup rapat mulutnya agar Sang Abang tidak kembali memaksa. Perutnya sudah tak karuan rasanya, tenggorokannya sakit, Alandra sudah tak mampu mengunyah makanan lagi.
"Semuanya kamu muntahin, gak ada yang masuk ke perut. Sekali lagi, ya? Harus ditahan, harus masuk ke perut," bujuk Nalendra sampai lelah sendiri.
"Gak mau!" tolak Alandra mentah-mentah. Dia memalingkan wajahnya, menggeser duduk menjauh dari Sang Abang.
Mangkuk itu pun diletakkan kembali di atas nakas. Nalendra mengambil buah pir kemudian mengupasnya.
"Gak mau buah," tolak Alandra lagi bahkan sebelum Nalendra nenawari.
"Harus makan. Kalau enggak nanti Abang panggilin Dokter Gustian biar suntik pantat kamu lagi. Mau??"
"Gak mau!!!" pekik Alandra panik.
"Makan kalau gak mau. Kamu mau sembuh apa enggak?" Nalendra menatap tajam Adiknya sambil mengangkat pisau setara dengan wajahnya.
Alandra terpaksa mengangguk. Dia menerima suapan kecil buah pir dari Abangnya. Dengan susah payah Alandra harus mengunyahnya, lalu menelannya pelan-pelan. Setelah menunggu beberapa detik ternyata buah itu tidak keluar lagi.
"Lagi, ya?" Nalendra menyuapi Adiknya dari potongan yang paling kecil. Sampai tidak terasa satu buah dihabiskan.
Setelah membantu meminum obat, Nalendra tertidur di sisi ranjang dengan posisi duduk dan kepala di atas ranjang. Sampai pukul sebelas malam Alandra tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tubuhnya digulingkan ke kanan dan kiri mencari posisi yang nyaman. Sudah diambang bosan Alandra mulai berbicara dengan langit-langit ruang rawatnya.
Sebenarnya ini adalah kode agar Nalendra bangun. Tapi kemudian Alandra mencoba untuk memahami rasa lelah Sang Abang. Dia pun mulai diam, mengerjap-ngerjapkan manik matanya yang mulai terasa pedas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
General FictionKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...