Hari Senin akhirnya datang lagi. Burung-burung berkicau silih berganti. Baru saja hari dimulai, pagi ini, Alandra sudah dibuat kecewa. Hasil belajarnya selama 2 hari tak diizinkan untuk dipraktekkan. Dia harus berangkat dengan Nalendra lagi selama seminggu. Alasannya adalah, karena Ayah dan Bunda belum yakin Alandra bisa menghadapi jalanan Jakarta yang super padat dan lebar. Berbeda dengan sirkuit yang hanya sejengkal jidat.
"Sini salim dulu, Nak. Biar berkah sekolahnya." Setelah disalami, Karin memeluk anak bungsunya sambil berbisik, "Minggu depan kamu boleh. Sekarang lihat dulu rute sama keadaan jalanannya, oke?"
"Adek udah liat setiap hari kok, Bun!" balas cepat Alandra, disertai alisnya yang kian menukik tajam.
"Hari ini lihat dulu baik-baik," sahut Surya dari belakang.
"Ck, Ayah sama aja!"
"Ini demi kebaikan kamu sayang." Karin mengusap lembut puncak kepala putranya.
"Pokoknya Minggu depan, ya! Adek gak mau ditawar-tawar lagi!"
"Iya sayang iya. Udah sana berangkat, Abangmu jamuran nungguin kamu, tuh."
Alandra menoleh mendapati tatapan tajam dari Nalendra yang bersedekap dada di luar gerbang rumah--sudah duduk di atas motor dengan tas besar di punggungnya.
"Adek berangkat dulu ya, Bunda, Ayah." Alandra mengecup pipi kedua orangtuanya lalu berlari kecil menghampiri Sang Abang.
Nalendra berkendara dengan santai, karena dia tahu tidak akan terjebak macet lagi. Hari ini mereka berangkat lebih pagi, jalanan pun tidak terlalu ramai.
"Nanti kalo udah dibolehin kamu tetep ada dibawah pengawasan Abang lho."
"Iya, iya, bawel!"
Tiba-tiba Nalendra menarik kencang gas motornya hingga membuat Alandra tersentak ke belakang.
"ABANG!" serunya kesal.
Sementara Nalendra tertawa puas sambil mendengar omelan Adiknya. Tapi suara tawanya mendadak hilang ketika Sang Adik mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup sensitif.
"Bang, kalo pacar Abang itu selingkuh, Abang bakal putusin apa terusin?"
"Nanya apa sih kamu, Dek? Anak kecil gak paham sama yang begituan."
"Kita cuma beda setahun kalo lupa! Pokoknya harus jawab, putus apa terus??" paksa Alandra.
Nalendra berdecak tak suka. "Bukan urusan kamu. Lagian Abang percaya kok sama Arum."
"Abang berubah."
Napas Nalendra dibuang kasar. "Apalagi sih, Dek?"
"Berubah aja. Abang keliatan beda, Abang ... gak sembunyiin apapun, 'kan?" Alandra menatap Abangnya lewat spion motor.
Bukan asal dua berucap demikian, namun, kenyataannya Nalendra memang memiliki sedikit perubahan sejak berhubungan dengan gadis bernama Aruma itu. Pertama, jam pulang Nalendra jadi jauh lebih lama. Kedua, kadang Alandra mendapati Abangnya bukan belajar melainkan melakukan panggilan video dengan Aruma. Ketiga, terkadang saat belajar kelompok Abangnya akan pulang sangat malam bahkan sampai pukul 2 pagi.
Tapi setiap ditanya Nalendra selalu tidak suka dan mengalihkan pembicaraan. Alandra takut jika Abangnya terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Dilihat dari penampilan Aruma saja sudah mendeskripsikan bagaimana sifatnya. Memang tidak setiap hari Alandra melihat Aruma, tapi dia selalu memergoki gadis itu berpakaian seksi dan merokok. Tapi saat bersama Nalendra hadis itu berkamuflase.
"Abang jangan aneh-aneh pokoknya. Cinta boleh, buta jangan."
"Eleh, sok dewasa."
"Kali ini Adek serius! Awas aja kalo Abang nyesek nanti jangan curhat ke Adek, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Ficção GeralKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...