Chapter 6. Repotnya Jadi Abang

138 24 18
                                    

Setelah membaca pesan tadi, Nalendra bergegas pulang. Ia bahkan meninggalkan 3 soal terakhir begitu saja. Mendengar kata 'kabur' pikirannya sudah melayang ke hal-hal yang buruk. Karena Alandra itu sangat nakal, dia bisa melakukan apapun jika bebas diluar sendirian. Apalagi sekarang sudah malam. Nalendra takut kalau Adiknya sungguh-sungguh bergabung menjadi anggota Punk.

Di sepanjang jalan, Nalendra melajukan motornya dengan pelan-pelan. Matanya bergilir ke seluruh penjuru hingga tak fokus dengan jalanan. Tak sekali dua kali Nalendra hampir menabrak orang maupun kendaraan yang lain.

"Ck, kamu kemana sih, Dek? Buat khawatir orang aja biasanya," dengusnya kesal.

Kemudian Nalendra menepi sebentar berniat untuk menelfon Bundanya. "Bun, Adek udah pulang belum?" tanyanya.

"Belum, Bang. Ayah sama Bunda udah cari di sekitar perumahan tapi gak ketemu juga."

Terdengar dari seberang telefon jika Bundanya sudah lelah. Rasa khawatir wanita itu sampai pada benak Nalendra. Mengingat hari semakin larut, tentu saja kekhawatiran Sang Ibunda bertambah berkali-kali lipat.

"Abang kalo udah capek pulang aja. Biar Ayah sama Bunda yang lanjutin cari Adek. Paling main di sekitaran sini, gak mungkin jauh-jauh."

Nalendra sedikit merasa tidak enak jika tidak ikut mencari. Tapi sejujurnya dirinya juga sudah sangat lelah, sekarang jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Jadi, terhitung 2 jam lebih dirinya berkelana di jalanan tanpa arah untuk mencari Adiknya.

"Yaudah, Abang pulang ya, Bunda."

Setelah panggilan di matikan Nalendra menarik pelan gas motornya. Dia tetap mencari keberadaan Sang Adik, mengamati para anak pengamen atau pengemis. Siapa tahu Adiknya iseng bergabung dengan mereka.

Meski hatinya dongkol setengah mati, Nalendra tak bisa memungkiri jika ada rasa bersalah dan cemas di ujung lubuk hatinya. Dia kembali terpikirkan tentang tadi pagi. Terlalu dalam mengarungi isi pikiran sendiri, lagi-lagi Nalendra hampir menabrak orang. 

"Aduh! Nabrak lagi, 'kan!" pekiknya dalam hati. Nalendra cepat-cepat turun dari motornya. Untung saja orang itu cepat tanggap untuk menghindar--meskipun tetap terjatuh.

"Maaf, Kak, saya tadi gak fokus. Kakaknya ada luka ga----- loh? Adek??"

Alandra meringis, memamerkan sela-sela gigi-giginya yang ditempeli coklat. "Yah, ketahuan deh."

Sadar dengan kemacetan mendadak yang dibuatnya, Nalendra segera menyingkirkan motor ke tepi jalan. Sekaligus mengintrogasi Adiknya itu.

"Kamu kok bisa sampe disini itu gimana ceritanya?? Ini jauh banget loh dari rumah?"

Alandra diam pura-pura berpikir sambil terus menyendok es krim ke mulutnya. "Adek nyari es krim yang enak, Bang. Nih coba deh, rasanya mantul!" ucapnya, lalu mengacungkan jempol.

"Ck, rasa es krim sama aja," jawab acuh Nalendra.

Alandra menggeleng cepat. "No! Abang salah besar. Es krim yang ini enak banget, coba dulu ya, aaaa." Dia mengarahkan sendok es krim ke mulut Nalendra tapi ditolak dan ditepis.

"Kamu makan sendiri aja, habisin cepet terus kita pulang." Setidaknya Nalendra masih memikirkan nasib Adiknya jika ketahuan makna es krim oleh Sang Ibunda.

"Oke."

Usai menunggu cukup lama, akhirnya Nalendra bisa segera pulang ke rumah. Dia sangat ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengistirahatkan tulang-tulangnya yang terus bergerak sejak pagi.

Jalanan mulai sepi, ternyata Nalendra mengambil rute yang salah. Akibatnya dia harus melewati kawasan pemakaman yang dekat dengan hutan-hutan. Ah, sialan Nalendra benci dengan situasi seperti ini. Sedikit panik dia menaikkan kecepatan motornya. Hawa disini membuat bulu kuduk Nalendra berdiri. Angin malam yang cukup dingin menambah kesan mistis di sekitar sini.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang