Mata elangnya bergerak secepat kilat. Mencari keberadaan orang yang di deskripsikan oleh polisi tadi. Dia tatap lama korban tersebut, tubuhnya sudah tertutup kain putih namun darahnya merembes di atas kain tersebut.
Nalendra takut. Kakinya gemetaran. Kakinya bergerak maju secara perlahan, mendekat ke arah korban tersebut. Ada satu hal yang membuatnya yakin. Dia memakai gelang makrame yang sama persis dengan yang Nalendra pakai. Tadi pagi, sebelum berangkat Alandra sempat memakaikan gelang tersebut padanya--katanya sebagai tanda bahwa mereka adalah Kakak beradik.
Tekadnya mulai surut. Tubuhnya tiba-tiba oleng ke samping menabrak tiang lampu penyeberangan. Keringat keluar bercucuran. Dadanya seakan dipompa tanpa jeda. Ketika angin kencang datang kain itu menyibak dengan sendirinya. Jantung Nalendra merosot begitu saja. Dia bisa saja terjatuh jika tak memegang kuat tiang di sampingnya.
"I-itu ...." Lidahnya kelu. Tak mampu mengucap barang sepatah kata. Dia hanya sanggup melihat dari kejauhan. Rambut hitamnya sama persis dengan milik Adiknya.
Tolong ... Siapapun katakan bahwa itu bukan Adiknya.
Rasa takut yang menggerayangi hati menyeret kakinya untuk kembali mendekat. Namun, beberapa polisi datang menghadangnya. Sepertinya pun Nalendra sudah sangat terlambat. Sebab, korban baru saja dimasukkan ke dalam mobil ambulans.
"Pak! Itu Adik saya, Pak!" teriak Nalendra sekali lagi, suaranya sampai serak karena terus meneriaki polisi-polisi yang menghalanginya.
"Anda bisa memastikan sendiri ke rumah sakit. Korban di bawa ke rumah sakit pusat Jakarta," ucap salah seorang polisi lalu pergi, mengatur jalanan yang acak adul.
Nalendra hendak mengejarnya namun kakinya tak sanggup berlari. Pada akhirnya dia terduduk kaku di tepi trotoar. Menutupi wajahnya sendiri, menggelengkan kepala dengan brutal berharap jika ini mimpi.
"Gak! Ini gak mungkin. Pasti ini mimpi!" racaunya. Dia terus mengulang kata yang sama hingga perlahan mulai menangis. Dadanya sesak bukan main. Nalendra kalut dalam pikiran yang berantakan. Hatinya ragu untuk menyusul dan takut untuk memastikan. Bagaimana jika itu benar Adiknya? Apakah Nalendra sanggup untuk kehilangannya?
"Bang."
Nalendra menegang. Agaknya dirinya mulai merasa bahwa sedang berhalusinasi. Memang sejak beberapa saat lalu dia mendengar suara Adiknya memanggil dirinya. Tapi Nalendra sangat ragu jika itu Adiknya. Itu sebabnya dia mengabaikannya saja.
"Abang."
"Bang."
"Abang."
"Bang Nalen!"
"Bang!"
Tubuh Nalendra diguncang kuat. Kedua matanya terbuka lebar. Namun, pandangannya buram. Seseorang tengah berdiri menghadapnya. Nalendra menggeleng, dia kira tingkat halusinasinya sudah parah. Tapi ketika kedua matanya dengan jelas melihat siapa orang itu, seluruh anggota tubuhnya terasa membeku.
"Abang kenapa nangis?"
Itu wajah Adiknya. Iya! Itu adalah Alandra. Adiknya baru saja mengusap air matanya dengan lembut lalu berjongkok menyamakan tinggi mereka.
"Bang?" panggil Alandra lagi.
Tanpa berkata apapun, Nalendra menarik Adiknya ke dalam pelukannya. Seolah Alandra akan pergi jika dia melonggarkannya sedikit saja.
"Abang kenapa peluk-peluk?? Sesek tau! lepas ih!" Alandra memukul-mukul punggung Abangnya, bahkan sampai mencubitnya.
Anehnya Nalendra tidak marah ataupun kesal. Alandra keheranan, akhirnya dia putuskan untuk membalas pelukannya saja. Alandra tidak keberatan, tapi kakinya yang kesakitan. Dengan posisi berjongkok dan berjinjit ditopang oleh jari-jari kakinya. Juga ditambah sedikit beban dari pelukan Abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
Ficción GeneralKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...