Chapter 20. Membohongi Semua Orang

129 23 4
                                    

Memasuki musim hujan awan hitam berbondong-bondong mengguyur bumi hampir setiap hari. Untuk saat ini sangat sulit menikmati udara pagi yang segar, kicauan burung, serta suara-suara orang yang berkegiatan di pagi hari. Gemuruh langit seolah menarik mundur orang-orang itu. Tapi tidak demikian dengan anak-anak sekolah. Dimana mereka harus tetap berangkat untuk menimba ilmu.

Sudah lewat dari sepuluh menit Nalendra memerhatikan rintik hujan dari jendela kelas. Tempat duduknya yang baru ternyata lebih nyaman dibanding kursi depan yang berhadapan langsung dengan papan tulis dan guru. Adiknya benar, duduk di pojok belakang tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Hanya saja tantangannya adalah harus tetap fokus dan tidak mencuri pandang keluar jendela yang selalu menggoda.

Nampaknya hujan hari ini berhasil mengalihkan fokus Nalendra. Jari tangannya bermain di embun kaca, membentuk sketsa sederhana gunung kembar dengan matahari separuh di antara keduanya, sawah di bawahnya, jalan setapak, ada pun rumah kecil yang di naungi pohon rindang, dan beberapa rumput melayang. Terlalu asyik dengan dunianya Nalendra sampai tidak menyadari jika kelas sudah berakhir.

Karena tidak ada banyak waktu tersisa, Nalendra memutuskan untuk membeli roti dan air saja. Hitung-hitung menghemat uang jajan. Dan Nalendra juga tidak terlalu lapar, sejak percakapan dengan Sang Ayah semalam Nalendra mendadak kehilangan nafsu hidupnya.

Masih teringat jelas di kepalanya bagaimana suara dan raut memelas Sang Ayah ketika meminta bantuan kepadanya. Nalendra sangat terkejut, bagaimana dia tidak tahu menahu mengenai keadaan orang tuanya sendiri?

"Ayah udah gak kerja lagi di perusahaan itu. Sejak dua bulan yang lalu Ayah kerja di tempat lain yang lebih jauh dan gajinya dua kali lipat lebih kecil. Jadi, itu alasan Ayah jarang pulang biar hemat biaya transportasi."

Mendadak percakapan itu berputar kembali di kepala Nalendra. Langkah kakinya perlahan melambat seiring berjalannya dia mendekatkan diri ke dinding agar tidak mengganggu siswa yang lain di koridor. Tanpa sadar Nalendra kembali melamun terbayang perbincangan itu yang benar-benar diputar ulang di kepalanya dari awal sampai akhir.

"Ayah boleh minta tolong sama Abang?"

"Apa?"

"Tolong bantu Ayah cari sisanya. Tapi Ayah gak maksa, kalau Abang keberatan gak apa-apa."

"Abang bisa bantu. Besok pulang sekolah Abang mau sekalian cari part time."

Nalendra menggelengkan kepalanya mengusir suara-suara yang terus berputar-putar itu. Ketika kakinya membelok di lorong kelas tiba-tiba ada seseorang yang menariknya dengan paksa. Nalendra sempat memberontak tapi sebuah kain membekap mulut dan hidungnya.

Hingga tubuhnya di seret paksa ke sebuah gudang gelap yang berada di paling belakang gedung sekolah. Disana Nalendra langsung tahu siapa pelaku yang melakukan ini kepadanya.

"Ngapain sih?"

"Kurang jelas, kah? Tuh udah di siapin."

Nalendra melirik tak berselera pada nampan di sebelahnya. "Ini udah kesekian kali----"

"Ini juga udah kesekian kalinya kamu nolak aku!"

"Wajar dong?? Ini gak bener, aku udah bilang berkali-kali kalau aku gak mau lakuin ini lagi!"

"Kenapa? Gak usah takut ketahuan, orang tua kamu juga udah tahu."

"Itu alasannya. Aku udah janji sama mereka, sebaiknya kamu hormati janji aku. Atau kita---" Nalendra mendadak bungkam tak jadi melanjutkan kalimatnya. Dia menatap tajam orang yang sedang melihatnya dengan remeh.

Sepersekon kemudian orang itu berdiri sambil membawa secarik kertas yang tampak sangat lusuh. Dia membaca isi yang tertera pada kertas putih tersebut yang berhasil membuat Nalendra diam memaku.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang