Chapter 24. Menelan Pahit Manisnya Hidup

155 23 16
                                    

Suara bising benda yang saling beradu bunyi sudah terbiasa di dengar. Palu yang memukul, gergaji menggores kayu, hingga suara-suara mesin pemotong besi. Aroma semen bercampur pasir serta debu dari batu bata menjadi makanan sehari-hari yang mengenyangkan bagi Surya.

Setelah dipecat juga dari sebuah rumah makan Surya tiba-tiba ditawari untuk menjadi salah satu pekerja proyek di sebuah pembangunan pabrik. Letaknya tak jauh dari rumah sakit yang menjadi rumah bagi putra bungsunya saat ini. Terkadang jika Surya merasa lelah, dengan melihat gedung rumah sakit itu semangatnya kembali membara. Seolah bukan gedung rumah sakit yang dia lihat melainkan wajah sumringah dan senyum lebar putranya.

Tapi kemudian dia teringat mengenai masalah tempo hari. Sampai hari ini dirinya tak kunjung memohon maaf pada Sang anak. Egonya terlampau tinggi, Surya masih saja berpikir bahwa semua orang bersalah--termasuk dirinya--dalam situasi ini. Kendati Surya pun tahu bahwa esok hari merupakan hari spesial bagi anaknya. Kemoterapi hari pertama untuk Alandra.

"Harusnya aku gak se-egois ini sana anak-anak ...."

"Tapi kalau aja Alan gak bohong dari awal ...." Tetap saja, pada akhirnya Surya selalu menyalahkan. Dia belum bisa berdamai dengan keadaan.

Bahkan sampai membuat hubungannya dengan Sang istri merenggang. Entah Karin yang terlalu sibuk bekerja atau dirinya yang tidak punya waktu untuk sekadar mengobrol berdua. Terakhir kali mereka bertemu di hari dirinya memarahi Sang putra. Sampai hari ini Surya belum melihat wajah istrinya lagi, sebab Surya selalu tidur di asrama proyek.

"Karin gimana, ya, kabarnya? Kok dia gak ada telfon aku?" Surya menimang-nimang ponselnya.

Panggilan menyerukan namanya terdengar menggema dari belakang. Surya bergegas mendekat, menggeser tangga--sesuai perintah rekan kerjanya--lalu memeganginya sampai rekannya menyelesaikan pekerjaan di atas. Tempat yang cukup berbahaya membuat Surya khawatir jika tangga itu bergeser dan rekannya terjatuh ke bawah.

Selama menunggu Surya malah melamun. Pandangannya tertuju pada lantai dasar yang jauh dari jangkauan. Melihat dari ketinggian seperti ini membuat sepasang kaki Surya seringkali gemetar. Setelah rekan kerjanya turun Surya disuruh untuk membawanya ke tempat yang lain. Karena ukuran yang cukup besar dia pun sedikit kesulitan.

Sebuah kejadian malang terjadi. Kaki kiri Surya menapaki lantai bekas adukan semen dan tergelincir. Tubuhnya terhempas jatuh bersamaan dengan tangga yang menimpa kedua kakinya. Suara hantaman tulang yang bersentuhan dengan kerasnya lantai menggerakkan pekerja lain untuk mendekat. Sebagian memekik terkejut, sebagian lagi langsung menolong Surya agar tak terjadi luka yang serius.

Surya segera dilarikan ke rumah sakit. Bertepatan itu adalah rumah sakit yang sama tempat putra bungsunya di rawat. Saat di ambulans Surya sempat menolak pergi ke rumah sakit itu, dia bersikeras, dengan dalih enggan di lihat Sang putra dalam keadaan sakit. Para pekerja medis tak menuruti, mereka tetap membawa Surya ke rumah sakit itu agar segera mendapatkan perawatan.

Selama perjalanan Surya berdoa agar Alandra maupun Nalendra tidak melihatnya. Tetapi takdir enggan berpihak pada Surya. Tepat setelah memasuki lobi salah satu tenaga medis yang membawanya menabrak Nalendra sampai jatuh. Alhasil, putra sulungnya itu pun mengikutinya sampai ke UGD.

"Dokter, apa luka Ayah saya parah?" tanya Nalendra terlampau cemas.

"Tidak, lukanya akan sembuh dalam waktu seminggu. Saya akan meresepkan obat agar rasa nyerinya hilang."

"Terima kasih, Dokter," ucap Surya, tersenyum sebagai tambahan tanda terima kasihnya.

Untuk sementara waktu, Surya disarankan tinggal lebih dulu di UGD seraya menunggu kakinya yang di gips lebih baik. Selama itu juga Nalendra terus menemani Sang Ayah, dia berdoa agar Adiknya tidak bangun dalam waktu cepat.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang