Chapter 19. Mari Bertukar Sandar

76 15 4
                                    

Apa yang sangat menenangkan selain sebuah pelukan? Apalagi disaat keterpurukan membelenggu. Malam tadi manik Alandra akhirnya terpejam dengan tenang meski sayup-sayup masih merasakan kesadarannya. Rasa sakit yang mendera tubuhnya tanpa henti membuatnya terjaga setiap malam. Menemani burung hantu yang tidur ketika siang--bahkan Alandra tidak bisa istirahat di siang hari. Tapi meskipun tidak bisa tidur Abangnya bersedia menemaninya semalaman, ikut terjaga bersama para kelelawar yang berkeliling di langit malam.

Keesokan paginya, Alandra tak di izinkan bersekolah karena kesehatannya menurun. Tapi Alandra memaksa untuk pergi ke akademi, dia pun meminta agar Sang Ibunda menuliskan izin selama tiga hari. Karin tentu bingung dan heran sambil menatap putra sulungnya yang hanya dibalas anggukan santai. Jika seperti itu Karin sedikit lebih lega, Nalendra sudah pasti tahu alasannya hanya saja belum memberitahunya. Karin selalu mempercayakan penuh putra bungsunya pada si sulung.

"Terus Bunda harus tulis apa? Masa sakit tiga hari tanpa keterangan Dokter?"

"Emang gak boleh, ya, Bunda?" tanya Alandra dengan tatapan polos seraya mengunyah sarapannya.

"Enggak boleh dong sayang, harus jelas sakitnya apa juga."

"Eum ... demam! pilek! batuk-batuk! tulis semua, Bun!" jawab Alandra antusias.

Karin menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia memukul pelan jidat Alandra dengan bulpoin, "pinter banget anaknya siapa sih ini."

"Bunda, Ayah kapan pulang?" tanya Nalendra tiba-tiba.

"Nanti sore pulang, kenapa, Bang?" Bunda balik bertanya seraya menulis surat izin Alandra.

"Tanya aja, soalnya kemarin malem, 'kan, Ayah gak pulang."

Pagi ini, Nalendra terpaksa berangkat sedikit lebih siang karena harus mengantar Adiknya ke akademi. Setelah penjelasan panjang lebar semalam, Nalendra tidak tega jika Adiknya pulang-pergi menggunakan kendaraan umum. Sebenarnya akademi dibuka pukul 08.00 tapi Alandra bilang dia bisa meyakinkan satpam agar membukakan pintu untuknya.

"Nanti Abang jemput jam empat," ucap Nalendra seraya mengusak gemas puncak kepala Sang Adik.

Alandra sekadar membalas dengan anggukan. Dia tersenyum seraya melambaikan tangan pada Abangnya yang mulai menjauh, kembali bergabung dengan para pengguna jalan yang mulai membeludak. Alandra berdoa semoga saja Abangnya tidak terlambat sebab sekarang sudah pukul 06.50.

Setelah berhasil meyakinkan dan membujuk satpam agar membukakan pintu, Alandra sekarang sudah berada di dalam ruang kelas. Cepat-cepat dia memulai melukis kanvas kosong di hadapannya. Masih tersisa tujuh kanvas lagi dan Alandra tidak tahu apakah dia berhasil menuntaskannya.

Suara orang-orang berbincang terdengar semakin ramai, itu pertanda hari mulai siang dan anak-anak akademi mulai berdatangan. Alandra menghabiskan waktu selama seharian penuh di dalam kelas itu, bahkan dia tak sempat keluar sekadar untuk mencari sesuap makanan. Tapi untungnya di tas ada tiga buah roti dan dua susu kotak. Melihat ada roti sandwich stroberi, Alandra menebak jika Abangnya yang membuatkan ini khusus untuknya.

Teriknya matahari berangsur-angsur menghangat. Langit oranye terbentang dari ufuk timur hingga ke ufuk barat. Burung-burung berterbangan ke seluruh penjuru arah--pulang ke sarang mereka. Nalendra dengan motor kesayangannya melaju pelan di jalanan Jakarta. Menikmati semilir angin sore meski udaranya tidak terlalu sehat. Motor-motor berlomba saling menyalip, apakah mereka merasa berada di arena Mandalika? Lagipula kenapa orang-orang terburu-buru untuk pulang?

Sampailah Nalendra di depan gedung akademi lukis Adiknya. Dia parkiran motor di paling ujung agar tak menghalangi motor lain yang akan keluar lebih dulu darinya nanti. Kakinya berjalan santai sambil sesekali menyapa para siswa-siswi akademi atau bersenandung kecil. Sebuah pintu dengan tulisan 'Paint class member' terpampang dihadapannya. Tadi pagi Alandra sudah memberitahu padanya dimana letak kelas yang akan ditempati anak itu.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang