Chapter 14. Penggelapan Cinta

73 20 8
                                    

"Lan? Bangun! Lo mimisan banyak banget, Lan!!!"

Kedua matanya terbuka lebar. Napasnya memburu bagai dipaju sepatu kuda. Dadanya naik turun dengan tempo yang tak beraturan. Suara itu tiba-tiba menggema berulang kali dalam tidurnya.

Langit sudah berubah menjadi merah jambu. Tunggu ... merah jambu? Ah, ini bukan lapangan. Tirai disampingnya menjuntai panjang berwarna abu, kemudian ia raba tempat yang sedang dirinya tiduri. Tampaknya ini ranjang rumah sakit. Adapun gambar anatomi tubuh manusia, dan bau obat-obatan yang menyengat. Alandra temukan jawabannya, ini pasti unit kesehatan sekolah.

Dengan susah payah Alandra mendudukkan diri. Menoleh ke kanan dan kiri siapa tahu mendapati seseorang yang diam-diam menemaninya. Tapi kenyataannya dirinya berada di sini sendirian.

Kemudian Alandra tolehkan kepala ke nakas di samping. Terdapat secarik kertas di atas tasnya. Dia ambil kertas itu dan dibacanya dengan seksama.

"Lan, sorry, ya. Gue gak bisa nemenin lo sampe lo bangun. Ada situasi mendesak yang mengharuskan gue pergi. Sekali lagi gue minta maaf, dari Dewa."

Alandra mengerutkan keningnya, mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali sebelum pingsan. Sesaat kemudian Alandra meringis, lengan sebelah kanannya tiba-tiba berdenyut linu. Apakah mungkin saat jatuh tadi lengannya menghantam aspal lapangan lebih dulu?

"Sial, sakit banget."

Helaan napas kembali berhembus. Alandra lelah sekali. Sebenarnya tubuhnya ini kenapa? Jika terus seperti ini dia akan membuat orang-orang khawatir. Untung saja Abangnya tidak tahu--tunggu, Semoga Dewa tak memberitahu Nalendra tentang keadaannya kali ini.

Tangannya kemudian merogoh tas, mencari benda pipih kebanggaannya. Dia tekan tombol di sebelah kanan dan ponselnya pun menyala. Angka yang tertera di halaman depan membuat Alandra terkejut sampai tersedak ludahnya sendiri.

"Udah jam lima sore?! Duh! Semoga aja gerbangnya belum ditutup!" dumelnya panik.

"Dan semoga aja ... AKU GAK DIKUNCIIN DI UKS!!!"

Alandra memekik keras. Dia bergegas turun mengabaikan sakit di kepala, di dada, lengan, dan perutnya. Melihat pintunya tertutup rapat, Alandra panik bukan main. Dengan kasar kenop pintu ditariknya, lantas menghembuskan napas lega mengetahui pintu itu tidak terkunci. Alandra pun berjalan tergesa keluar dari gedung sekolah sambil terbatuk-batuk.

Dari jendela, tampak langit sudah menggelap seperti waktu magrib. Rintik-rintik gerimis menyapa tanah bumi setelah sekian lama tak kembali. Langit pun mulai mengeluarkan gemuruhnya. Menggelegar dari ujung Timur sana.

Alandra berjalan pelan. Langkahnya tertatih-tatih. Tangan kirinya sibuk mengurut perut yang kembali terasa begah. Ditambah suasana gedung sekolah yang suram dan gelap. Ketika kakinya berpijak pada tanah lapangan bertepatan dengan itu hujan pun turun dengan derasnya.

Hujan sepertinya tidak mau menunggu Alandra sampai di rumah. Airnya datang berbondong-bondong mengguyur bumi. Alandra menggunakan tasnya sebagai payung sementara. Untungnya halte bus berada cukup dekat dengan sekolah.

Sembari menunggu bus terakhir yang datang, Alandra duduk melamun di bangku halte. Bau karatnya sangat mengganggu, Alandra mati-matian menahan rasa mualnya. Waktu lambat berlalu, menatap hujan menjadi alternatifnya untuk menghilangkan bosan. Jika saja tidak sedang dalam masa perang dingin dengan keluarganya, Alandra sudah bermain-main dengan air hujan dan genangan airnya.

Bus tak kunjung datang. Alandra menyandarkan punggung. Tiba-tiba sebuah kenangan klise berputar cepat di kepalanya. Ia memejamkan mata, mendalami suara hujan yang berjatuhan di atas aspal jalanan. Ketika itu, kenangan yang coba ia ingat pun terlihat dengan jelas. Kedua matanya terbuka, bayang-bayang seseorang muncul di hadapannya. Bermain ria dengan hujan tanpa memerdulikan sekitar. Bergerak bebas, leluasa, tertawa, melakukan segalanya sepuas hati.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang