Rencana Alandra sudah disusun rapi. Yaitu, mengambil kanvas di kelas, melukis di taman belakang, menyelesaikannya sampai pukul dua belas siang, mengumpulkannya pada Pak Reynold lalu pulang. Merasa senang dengan urutan rencana yang terlihat mudah, langkah Alandra pun terasa semakin ringan. Dia bersenandung kecil seraya menunggu lift terbuka. Namun, seseorang yang muncul dari dalam lift malah membuat semangat menjalani harinya turun drastis.
"Minggir sana Nenek Lampir!"
"Lo beneran minta gue bunuh, ya!?" Aruma berkacak pinggang menatap nyalang Alandra.
Ancaman itu tidak digubris. Alandra menjulurkan lidahnya mengejek lalu masuk ke dalam lift. Sebelum itu dia sudah mendorong paksa Aruma keluar dari sana.
Akan tetapi tepat sebelum lift tertutup Aruma berhasil kembali masuk ke dalam. Dia menyunggingkan senyum melihat raut panik di wajah Alandra. "Kenapa? Takut, ya?" ucapnya remeh.
"Ngapain takut sama Nenek-nenek."
"Lo ngomong sekali lagi gue robek mulut lo. Biar gak bisa ngomong sekalian buat selamanya!"
"Gak mempan nakut-nakutinnya, wle!" acuh Alandra, tak lupa memeletkan lidahnya sebagai balasan.
Sebenarnya jauh di lubuk hati Alandra, dia merasa takut dengan Aruma. Dengan situasi seperti ini gadis itu bisa saja menyakitinya. Herannya mengapa Nalendra bisa dibutakan oleh cinta busuk itu? Alandra sudah merasa sesak dekat dengan Aruma, dia berharap lift cepat terbuka dan dia bisa segera kabur.
"Lo gak akan bisa misahin gue sama Nalendra."
"Hm."
"Abang lo udah cinta mati sama gue."
"Hm."
"Dan lo mau tau gak satu fakta terbaru yang gak bakalan lo sangka?"
"Gak."
"Kalau suatu saat Nalendra harus milih, dia bakal milih gue. Kenapa? Karena gue yang bakal terus ada buat dia dalam keadaan apapun. Dan lo itu cuma 'Adek' nya, setelah Abang lo nikah sama gue kalian gak akan ketemu lagi."
"Lift-nya macet kah kok lama amat??" ucap Alandra mencoba mengacuhkan ocehan Aruma.
"Gue kasih peringatan hari ini. Dan semoga Lo gak kecewa di kemudian hari."
Tepat setelah itu terucap pintu lift terbuka. Alandra langsung berjalan keluar menjauhi Aruma. Mengabaikan dadanya yang mulai terasa sesak dan perut yang memerintahkannya untuk segera mengeluarkan seluruh isinya. Namun, sejauh Alandra berjalan dia akan berhenti juga. Menetralkan rasa sakitnya sejenak berharap akan berkurang dan menghilang. Tapi sepertinya tubuhnya sudah tidak mampu untuk menjadi manusia kuat. Alandra tak bisa menahan rasa mualnya lagi dan langsung berlari mencari kamar mandi.
Ada perasaan aneh ketika melihat dirinya sendiri di depan cermin. Alandra seperti sedang menjadi orang lain. Wajahnya sangat berbeda, bahkan tubuhnya semakin kurus. Setelah keluar dari kamar mandi dia dihadapkan dengan puluhan tangga menuju lantai 5--tempat dia harus mengambil kanvas. Alandra menarik napas dalam-dalam, merasa perjalanan jauhnya yang sampai mempertaruhkan nyawa temannya tidak berguna. Nyatanya Alandra menyerah untuk menaiki tangga-tangga itu, dia teringat dengan perkataan Sang Ibunda bahwa kesehatan itu tidak bisa dicari.
Alandra pun memutar balik langkahnya. Mengeratkan tasnya di punggung kemudian berjalan pelan menuruni anak tangga.
Ketika sampai di lobi Alandra terkejut saat melihat Nalendra sedang berdiri diluar tampak sedang menunggu seseorang. Dia hendak berlari namun niatnya urung kala tak sengaja berpapasan dengan Jojo dan Aruma yang sedang berjalan bersama--bermesra, bahkan saling mencium kening dan tangan. Tapi sayangnya Nalendra tiba-tiba fokus dengan ponsel dan Alandra takut kesempatan ini akan terlewati begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded Harmony
General FictionKeluarga harmonis, selalu berada di dalam kehangatan, meski hujan badai menerjang dari luar. Ketika seseorang mendapatkannya terkadang mereka tidak sekalipun berpikir bahwa itu bisa saja menghilang. Lantas, bagaimana jika suatu hari mereka dihadapka...