Namanya Sana, perempuan yang baru saja menyelesaikan sarjana nya tiga bulan yang lalu itu kini sedang bersandar pada dinding berwarna hijau terang khas bangunan kosaan. Pikirannya menerawang jauh, diam-diam otaknya mulai menghitung sisa uang yang sekarang dia punya, dahinya mengkerut ada kekhawatiran dari paras ayunya.
Mungkin ini resiko yang harus dia terima, memaksa pergi ke kota besar dengan gegabah. Ya, memang benar, dia pergi ke Jakarta sedikit memaksa, orang tuanya tak mengizinkan nya, kedua orang tua nya ingin dia bersabar sedikit untuk menunggu pekerjaan yang ada di kota nya saja.
Kedua orang tua nya sama sekali tak meminta Sana untuk segera mencari kerja, orang tua nya masih mampu kalau hanya sekedar untuk memberi makan Sana pagi dan sore. Tapi rasanya segan, Sana tau bagaimana kedua orang tuanya jatuh-bangun untuk membuatnya bisa kuliah dan menjadi seorang sarjana, dia hanya tidak ingin terus menerus membebankan kedua orang tuanya, apalagi dia ini anak pertama.
Suara tutup panci yang bergerak menyadarkan Sana dari lamunannya, akhirnya air yang dia rebus matang, sial sekali pikirnya, baru saja sebulan menempati kosaan ini, dispenser yang disediakan pemilik kos rusak, untuk membuat secangkir teh hangat saja dia harus merebus air dulu.
Ada kebahagian tersendiri mendengar dentingan yang tercipta akibat sendok dan gelas yang beradu, suaranya nyaring dibarengi dengan aroma teh yang menyegarkan indra penciuman nya, dia tersenyum simpul, dengan perlahan dia sesap teh hangat nya.
Saat tubuhnya berbalik, Sana kaget, karna ada seorang laki-laki yang ntah sejak kapan berada disitu seakan menunggu giliran untuk memakai dapur umum kosaan. Laki-laki itu tersenyum, di tangannya juga ada gelas dan satu sachet kopi hitam.
"Ngeteh mba?.. "
Sana hanya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan sapaan itu, kepalanya sedikit menunduk, berpamitan untuk masuk kedalam kamar, kemudian laki-laki dihadapanya menggeser badannya membiarkan Sana pergi dari dapur umum kosaan yang sempit.
Ditaroh nya teh hangat itu dimeja, dia mengeluarkan roti kemasaan yang sengaja dia simpan untuk pagi ini. Sana sangat tidak nyaman berada disini, dia terpaksa mengambil kosaan campur, karna harganya lebih murah dibanding kosaan khusus perempuan. Ntah apa alasannya, tapi mungkin karna bangunan yang masuk kedalam gang dan fasilitas seadanya yang membuat kosaan ini terbilang murah.
Kamar yang Sana tempati sebenarnya cukup nyaman tidak luas tapi tidak sempit juga, cukup. Tapi Sana masih belum terbiasa saja dengan suara gitar tengah malam yang menganggu tidurnya, atau suara teriakan kekalahan karna game, apalagi beberapa hari ini sedang musim pertandingan bola, Sana benar-benar terganggu akan suara-suara itu, dia baru sadar kalau ternyata laki-laki seberisik itu.
Sekarang perutnya sudah terisi roti selai coklat yang mungkin akan bertahan sampai jam 10 pagi saja, Sana harus berpikir lagi untuk makan siang dia harus makan apa. Bisa saja dia menelpon kedua orang tuanya untuk mengirimkannya uang, pasti orang tuanya tak akan membiarkannya mati kelaparan, tapi tekatnya untuk tidak akan membebankan kedua orang tuanya, membuat dia bisa bertahan dengan hidup hemat.
Hari minggu yang mendung, membuat rencana Sana untuk seharian di kosaan semakin bulat, walau sebenarnya hari biasa pun tubuhnya lebih banyak menempel dengan kasur, tapi tidak apa-apa pikirnya, untuk hari ini dia akan menonton drama Korea sepanjang hari atau bermain sosmed sampai bosan, sebelum besok harus lelah mencari kerjaan lagi.
Dia regangkan otot-otot pada tubuhnya, bersiap untuk merebahkan dirinya diatas kasur, dia tersenyum memencet panggilan, tak berselang lama, suara ibu nya terdengar, selama hidupnya dia tidak pernah jauh dari orang tua, pergi ke Jakarta dan hidup sendiri adalah hal besar yang Sana lakukan selama hidup 23 tahun.
