9

301 43 9
                                    

Tangan yang digenggam kian dingin, matanya memudar, sosok Dedex semakin kabur. Rasanya ingin menangis, mungkin Dedex juga tidak tau bagaimana rasanya jadi Sana, atau Sana juga tidak pernah tau bagaimana jadi Dedex.

Betapa bingungnya Sana ketika Dedex mengungkapkan kalau hari pernikahan mereka harus segera dilangsungkan.

Seperti tersambar petir yang Sana lakukan setelah itu hanya diam, dia tidak merespon apapun, hatinya benar-benar kalut, bagaimana semua harus terjadi diluar dugaan nya.

Mungkin bukan hanya Sana, tapi Dedex juga sama bingungnya, keduanya terikat tali pertemanan orang tua. Sama-sama bingung harus berbuat apa selain mengikuti mau orang tua.

Lagian darimana datangnya, pertemanan orang tua harus dibebankan pada anak-anak nya, mungkin orang tua bisa mengatur semua untuk kebaikan anaknya, tapi untuk urusan hati apakah orang tua juga harus ikut campur?

Kedatangan Dedex sore ini memang diminta oleh kedua orang tua nya untuk menjemput Sana pulang, disetujui oleh kedua orang tua Sana, akhirnya Dedex datang ke Jakarta, membawa kabar yang ntah membuat bahagia atau duka untuk Sana.

"Aku udah ngomong sama Ibu buat ga buru-buru.."

Dari raut wajahnya, Dedex cukup mengerti kekhawatiran Sana, selama menjalin hubungan dengan Sana, Dedex juga bukan laki-laki yang memaksakan inginnya, Sana tau kalau Dedex memiliki perasaan terhadapnya.

Sana tidak menutup hati, dia membuka hatinya untuk Dedex, tapi nyatanya baik saja tidak cukup membuat hatinya benar-benar terbuka.

"Kamu tau sendiri gimana Ibu sama Bapak.."

Sana lepaskan genggaman tangan Dedex, Sana sandarkan tubuhnya pada kursi kosaan, dia mulai menarik nafasnya yang berat, rasanya baru saja mimpinya terbuka, bahkan dia belum mulai bekerja, tapi sore ini, rasanya mimpinya kembali terkubur.

Haruskah dia setuju, mengikuti apa yang sudah orang tua nya rencanakan, menikah dengan Dedex, melanjutkan hidupnya di desa. Matanya kian memanas rasanya sakit sekali menolak kenyataan didepan mata, kalau bisa berlari, mungkin dia akan berlari sekencang-kencangnya, tapi nyatanya dia hanya diam ditempat.

Dedex yang duduk di hadapan Sana membenarkan posisi duduknya, melihat Sana jadi sedih membuat hati Dedex juga sakit.

Dia mecintai Sana, menginginkan Sana, tapi dia masih waras, dia lebih memilih sakit melepaskan Sana, dibanding melihat Sana tidak bahagia.

"Kalau kamu-"Suara Dedex juga bergetar, dia telan kekecewaan nya sendiri, secara tidak langsung Sana menolak untuk menikah dengannya.

"Kalau kamu memang belum bisa nikah sama aku, ya gapapa, aku bisa ngomong lagi ke Ibu sama Bapak.." Kata Dedex mengulang ucapanya sambil memaksakan senyum.

Kemudian Sana menatap nya lebih dalam dari biasanya.

"Aku baru ketrima kerja, Mas.." Suaranya hampir tidak terdengar, rasanya sudah tidak ada tenaga untuk menyuarakan perasaanya sendiri.

Sana menarik nafasnya lagi, sekarang dia tegakan tubuhnya, dia semakin menatap Dedex berharap Dedex bisa mengerti dan membantunya. "Apa gabisa kalau satu tahun lagi?"

"Aku mau ngerasain kerja dulu Mas.." Kata Sana.

"Kalau kamu nikah sama aku- kamu juga masih bisa kalau kamu mau kerja.."

Kalau hanya itu yang Sana khwatirkan, Dedex bisa jamin semua hal yang Sana inginkan akan dia dukung pada kenyataannya kekhawatiran Sana bukan lah tentang itu. Dedex mengerti bahwa urusan perasaan memang tidak bisa dipaksa.

"Aku coba ngomong ke Ibu lagi ya dek?"








..
.
.




Dia naiki anak tangga menghitung nya diam-diam dalam hati. Mau dibawa kemana tubuhnya, rasanya tulang belulang nya tak sanggup menopang tubuhnya, dia hampir saja jatuh jika tangan lain tidak sigap menopang.

"Kamu gapapa?"

Satu tetes air mata jatuh dipipinya, dia serahkan tubuhnya pada sosok tegap dengan mata yang teduh. Satu tetes dua tetes air mata kian jatuh, dengan kesadaran nya, dia peluk tubuh itu, dia menangis tersedu menumpahkan segala keresahan hatinya.

Pelukan Sama membuat tubuh yang tak lain milik Tzul jadi mematung, dia bingung apa yang harus dia lakukan.

Dia tunggu sampai tangis Sana reda, perlahan tangannya terangkat untuk memberikan ketenangan pada Sana.

Malam kian dingin ditambah dengan suara tangisan Sana yang sedih, Tzul memberanikan diri untuk membalas pelukan Sana, perlahan dia sentuh rambut Sana, punggung Sana yang naik turun juga tak dia lewati.

Mungkin-karna hatinya yang sedih Sana hanya mengikuti kemana Tzul membawanya, dia baru sadar kalau dia sedang berdiri dibalkon kamar milik Tzul, dia peluk tubuh nya sendiri menikmati terpaan angin.

"Makasih.."

Setelah Sana terima pemberian teh hangat nya dia masih tidak tau apa yang sedang terjadi pada Sana. Tzul tidak ingin bertanya apapun, Tzul takut Sana tidak nyaman, dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Dia rasa sekarang Sana cukup tenang.

"Mas pernah jatuh cinta?" Setelah meminum teh hangat nya Sana menoleh pada Tzul.

"Pernah.. "

"Kenapa?" Kata Tzul

"Saya ga pernah.." Sana menjawab tanpa menoleh pada Tzul, matanya menatap kedepan.

Apa yang dia katakan memang benar, dia tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta, sejak dia beranjak dewasa rasanya otaknya sudah terpatri kalau dia akan menikah dengan Dedex, dengan cinta atau tidak dia harus menikah dengan Dedex.

Perasaannya tidak bebas, dia menyanyangi Dedex sebatas seorang adik pada kaka laki-lakinya, tidak lebih dari itu.

Tzul tidak mengerti arah bicara Sana kemana, dia tidak membuka mulutnya dia membiarkan Sana untuk melanjutkan suaranya.

"Saya pengen tau rasanya jatuh cinta, Mas.."

"Saya pengen bisa hidup sama orang yang saya cintai-apa gabisa?"

Suara Sana yang meninggi membuat Tzul semakin bingung, dia berpikir apa ada hubunganya dengan laki-laki yang dia temui sore tadi pikir Tzul.

"Saya rasa semua orang berhak hidup dengan orang yang dia cintai, tidak terkecuali kamu.."

"Sekalipun semesta ga mendukung?" Tatapan Sana menuntut jawaban, menelisik masuk kedalam mata Tzul yang mentapnya juga.

"Apa kamu ga percaya, semua yang terjadi dalam hidup sudah pada ketentuanNya, termasuk urusan cinta.."

Sana alihkan lagi pandangannya "Bahkan saya ga punya pilihan itu.."

Terpaksa Tzul bawa tubuh Sana agar menghadapnya, dia sedikit menunduk menatap mata Sana "Sana.."

Dua tangannya memegang kedua pundak Sana, Tzul semakin mendekatkan wajahnya, mungkin sekarang Sana bisa rasakan nafas Tzul. "Apa hati kamu berdebar?"

"Maksud Mas?" Sebisa mungkin Sana tutupi rasa gugupnya, sebenarnya dia bisa saja mendorong tubuh Tzul yang terlalu dekat, tapi seperti ada hal yang membuat nya memilih diam.

Tak bisa dia bohongi, kalau jantungnya berdebar, dia bahkan tak mampu membalas tatapan mata Tzul, dia merasakan aliran darahnya kian memanas.

Di sela-sela keguguran Sana, Tzul malah tersenyum, dia seolah menemukan jawaban dari apa yang sedang dia lakukan.

"Kalau sekarang hati kamu berdebar, itu tandanya kamu merasakan cinta.."






















°°

See You^^

WAIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang