Mencintai seseorang yang tak pernah bisa dimiliki seperti membentangkan tangan digaris api. Kamu sadar api akan membakarmu hidup-hidup tapi kamu tetap berdiri tegap disana.
Mungkin semua itu tak akan ada artinya lagi, jika kamu benar-benar mencintai.
Sana diam terduduk kaku, matanya dialihkan ke segala arah menolak tatapan dengan Tzul.
Satu hal yang buat nya bahagia kalau selama ini perasaan nya tidak berjalan sendiri.
Sekarang hatinya hancur, dia pegang potongannya sendiri, mungkin akan kembali utuh ketika laki-laki dihadapannya siap menyusun.
Dia putuskan untuk bangkit dari duduknya. "Saya harus pulang sekarang.. " Kata Sana.
Dedex trus menelponnya. Sedari tadi handphone nya terus berbunyi.
Tzul yang sedari tadi menunggu jawaban dari Sana semakin resah, detakan jantungnya tak karuan, di pikiran lainnya dia mulai siap akan kehilangan.
"Kenapa?"
Dia genggam lengan Sana yang akan pergi, sekali lagi menuntut penjelasan. Mungkin dia memang telat menyadari akan cinta nya. Mungkin dia lebih memilih menjadi pengecut.
Tapi berpuluh-puluh kali dia sudah menyalahkan dirinya sendiri. Apa takdir tetap tak berpihak padanya?
"Saya gak bisa.. "
Bersamaan dengan tangan yang dilepaskan, Dedex datang menghampiri Sana. Tatapan mata Tzul jadi buram membiarkan Sana pergi menjauh.
Sekarang Sana sudah duduk di kursi penumpang di sebelah Dedex.
Pikirannya masih menerawang memikirkan Tzul. Dia tak ingin bersikap seperti ini, tapi dia juga tak punya kuasa. Dia tak ingin Tzul jadi berharap karna pada kenyataanya dia tak bisa memberikan harapan apa-apa.
"Lain kali bisa kan kasih tau aku kalau mau pergi? Apalagi pergi sama laki-laki."
Sana menoleh. Wajah Dedex terlihat serius tak seperti biasanya. Kali ini Sana akui kesalahannya. Dia memang tak sepantas nya pergi bersama laki-laki lain sedangkan lusa dia sudah menjadi istri Dedex.
"Iya Mas. Aku minta maaf.." Kata Sana
Sana bisa mendengar kalau Dedex mengelak nafas. Dia memutar setir mobilnya dengan pelan meninggalkan cafe.
"Aku ini calon suami kamu. Bisa kan hargai aku sedikit?"
"Aku bukan mau larang kamu bertemen atau pergi sama siapa. Aku cuma takut orang liat dan jadi mikir ga baik sama kamu.. "
"Iya. Aku minta maaf.. "
Berulang kali hanya kata maaf yang Sana ucapkan. Sana tak suka tatapan Dedex sekarang. Walau apa yang dikatakan Dedex ada benarnya, tapi Sana tetap tidak suka tuntutan yang Dedex berikan. Kalau Dedex tau dia sudah merelakan kehilangan dirinya sendiri untuk perjodohan ini.
Apa Dedex akan tetap seperti ini?
"Lagian dia siapa sih?? Pacar kamu??"
Dia tak lagi menatap mata Dedex. Dia lebih memilih diam, nada bicara Dedex yang meninggi benar-benar membuatnya kesal juga.
"Kenapa gak jawab? Apa yang aku omongin bener??" Kata Dedex lagi
Sana menarik nafasnya sendiri, dia redam semua amarah yang siap meledak. Andai tak ingat aturan bersikap mungkin dia akan balas juga emosi Dedex. "Bukan. Dia bukan pacarku.. "
"Trus kenapa kamu gak ngomong sama aku??"
"Memang sejak kapan kalau aku pergi harus izin sama kamu?"