13

278 51 6
                                    

Dia sibukan dirinya sendiri dengan tugas-tugas kuliah, berharap pikirannya tentang Sana akan berlalu pergi.

Satu jam berlalu dia berkutat pada data— menyalin nya dengan bahasa yang dia rangkai. Pikirannya kusut seperti kertas yang dia remas karna salah menyalin.

Satu teguk kopi pahit dia telan lagi berharap bayang-bayang rasa bersalahnya juga hanyut beserta ampas kopi yang dia telan. Sebenarnya dia bukan lari dari masalah, dia sudah coba memberikan penjelasan pada Sana tapi kesempatan itu tak pernah ada. Dia sudah coba menunggu Sana.

—tapi ternyata semesta tak mendukung nya, sulit sekali rasanya bertemu Sana.

Bahkan beberapa minggu yang lalu dia sudah membulatkan tekatnya untuk menunggu Sana, tapi matanya malah menangkap sosok Sana pulang bersama Danu. Sejak sore itu rasanya marah.

Dia marah pada dirinya sendiri yang pengecut, dia marah pada Sana yang sulit ditemui.

Dia putuskan untuk berhenti menunggu Sana, dia putuskan pergi dan membiarkan Sana marah tanpa penjelasan apapun.

Tangannya berhenti mengetik, handphone nya bergetar nama Chakra memanggilnya. Dia biarkan telpon itu trus berdering.

Sudah hampir satu bulan hubungannya dengan Sana renggang, satu bulan juga dia tidak pulang kekos, akhirnya setelah sekian lama dia tempati apartement yang Ayahnya berikan.

Hari sidang nya sudah semakin dekat, dia bersyukur ditengah ketidak beruntungannya, tapi Tuhan masih memberikan jalan yang mulus untuk skripsinya.

Bab terakhir yang sedang dia kerjakan menguras tenaganya, mungkin hanya perasaanya saja tapi akhir-akhir ini tubuhnya jadi kurang bertenaga.

Dia regangkan otot-otot yang kaku—sekali lagi satu teguk kopi pahit dia telan, semalam dia begadang hanya dengan kopi matanya bisa terjaga sampai siang ini.

Dia cukup puasa akan kinerjanya walau dengan tenaga sisa-sisa memikirkan Sana, akhirnya skripsi nya selesai.

Dia tutup laptop dengan senyum simpul, dia bertekad hari ini harus selesai dan dia bisa segera mengajukan sidang.

Satu tarikan nafas dia hembuskan ketukan pada pintu tak menunggu waktu lama, dia dipersilahkan masuk.

Dosen yang sudah menemaninya beberapa bulan ini akhirnya bertatap muka lagi.

"Gimana Tzul beres?" Ucap seorang laki-laki dengan tubuh gempal berkacamata itu.

"Allhamdulillah..ini Pak.. " Kata Tzul memberikan modul skripsi nya.

Tzul menunggu, wajahnya cukup tegang sedangkan dosennya membuka lembar demi lembar hasil kerja Tzul.

"Hmm—udah oke kok.. "

"Besok daftar sidang ya.. "

"Serius Pak??" Tzul benar-benar tidak percaya, kalau dia bisa berada di titik ini, kalau dia bisa seperti teman-temannya yang lain.

Gelar yang kedua orang tuanya inginkan sudah didepan matanya.

Setelah mengangguk dosen yang bernama Pak Zamil mengeluarkan satu kantong plastik "Oleh-oleh dari Arab.. "

"Air zam-zam nya diminum pas mau sidang nanti ya.. Biar pinter jawab.. " Kata nya sambil bercanda.

Tzul terima bingkisan dari Pak Zamil yang baru saja pulang dari umroh dengan suara tawa yang tipis.




..
.
.



"Udah semua dek?"

"Udah Mas.. "

WAIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang