Wajahnya tampak bingung, dia terus mengamati peta jalur kereta yang semakin dilihat semakin membuatnya pusing. Kemaren sore dia mendapatkan emaile dari sebuah perusahaan untuk proses wawancara pagi ini, tentu dia bahagia, do'anya perlahan Tuhan jawab.
Sambil menunggu air mendidih dia terus mempelajari rute kereta, tanpa dia sadari, laki-laki yang sama, senantiasa berdiri dibelakangnya tak lupa satu kopi sachet juga ada digenggaman tangannya.
"Mau naik KRL mba?"
Suara yang sangat maskulin, membuat dia menoleh, dia ingat laki-laki ini, bantuannya kemaren sangat membekas, tentu Sana akan mengingatnya. Dia sebisa mungkin menenangkan dirinya sendiri, agar tidak terlihat aneh dan kaku.
"Iya Mas.. "
Sana pikir tetangga kosanya itu akan bertanya kembali, tapi kakinya malah melangkah ke arah sampingnya, untuk mengambil gelas. Suara senandung yang keluar dari mulut laki-laki itu menembus keheningan yang tercipta dalam otak Sana, perlahan namun pasti, dengan ragu Sana mengeluarkan suaranya lagi.
"Ehmm.. Mas.. "
"Saya mau tanya, kalau dari stasiun Juanda ke stasiun Sudirman itu harus transit ya?" Kata Sana akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Sebenarnya dia sudah yakin untuk rute keretanya, tapi ntah kenapa perasaan khawatirnya tetap membutuhkan validasi dari seseorang yang mungkin lebih paham daerah sini, walau Sana tak mengenal siapa sosok teman kosaan nya itu, tapi dari logat dan gayanya, Sana mengira kalau tetangga kosaan yang baru beberapa hari menempati kamar tepat dikamar sampingnya itu adalah orang Jakarta asli.
"Oh mba mau ke Sudirman? Iya transit, transit di Manggarai aja, nanti naik arah Sudirman.. "
Sana menampilkan senyum kakunya, wajahnya berusaha yakin, kalau semua bisa berjalan sesuai apa yang dia inginkan. "Oh begitu ya.. Makasih ya Mas.. "
Wajar saja jika Sana terlihat khawatir, ini adalah pengalaman pertamanya hidup dikota besar, dia hanya gadis desa yang tak pernah membayangkan akan hidup seorang diri di kota orang. Selama ini dia hanya berkeliling disekitar tempat tinggalnya saja untuk mencari pekerjaan, seminggu yang lalu dengan tidak banyak berharap dia memasukan lamaran kerjanya ke perusahan besar yang berada di pusat kota.
Benar kan, Jakarta selatan adalah pusat dari kemodernan kota Jakarta. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kosaannya, tapi tetap saja, dia tak memiliki pengalaman apapun untuk menelusuri tiap jalan di Jakarta, dia tetap khawatir.
Mungkin laki-laki itu melihat gelagat Sana, ntah Sana harus berterimakasih bagaiamana, teman kosaan yang belum dia ketahui namanya itu menawarkan bantuan, yang Sana sambut dengan suka cita.
"Ehmm Mba.. Kebetulan saya mau ke daerah Sudirman juga, saya juga mau naik KRL, mau bareng?"
Tanpa ragu Sana mengangguk, dia berharap laki-laki ini memang baik, semoga dia tidak salah menerima ajakan.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya Mba, setengah jam lagi udah siap ya?"
"Iya mas, siap.. "
Senyum Sana mengembang, kekhawatiran nya sedikit hilang, dia bisa lebih fokus untuk memikirkan tentang bagaimana tes wawancaranya.
Senyum nya hilang tak berselang lama dengan suara pintu kamar yang tertutup dari kamar laki-laki tadi, Sana melihat panci yang berisikan air yang dia masak tinggal setengah, bahkan kompornya sudah mati.
Apa dia terlalu memikirkan jalan sampai teman kosaanya mengambil air panasnya saja dia tidak sadar, kerutan pada dahinya perlahan menghilang, kepalanya menggeleng, ada-ada saja pikirnya, tapi karna laki-laki itu sudah membantunya, dia rela air rebusan nya diambil, beruntung sisa airnya masih cukup untuk membuat secangkir teh manis hangat.
..
.
.Setengah jam berlalu, kekhawatiran nya semakin hilang saat dia baru saja mematikan telpon kedua orang tuanya, suara ibu dan bapak membuatnya semakin yakin akan mimpinya yang akan tercapai, harapan-harapan yang semula mulai goyah kini menggantung kuat lagi, pada dahan mimpi yang sudah dia sirami setiap hari.
Semoga buah kesabarannya manis, seperti harapannya. Tuhan tidak akan memberatkan hambanya, selagi kita terus berusaha, dan berada pada jalan yang benar.
Blezer berwarna hitam dipadu padankan dengan kemeja putih polos dengan rok hitam dibawah lututnya, mungkin tanpa dia jelaskan, laki-laki yang sedang berjalan disampingnya ini paham, kalau dia akan melamar kerja.
Badan Sana sedikit menunduk saat melewati gang sempit dengan ibu-ibu yang sedang mengelilingi tukang sayur, senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.
Walau berada digang kecil tapi stasiun tidak jauh dari kosaanya, dia hanya cukup berjalan sekitar 300 meter saja, dia akan menemukan jalanan besar, dan menyebarang jalan untuk sampai ke stasiun Juanda.
Tak ada obrolan yang pasti diantara keduanya, Sana juga hanya mengikuti langkah kaki teman kosaanya itu.
Sana sudah mulai menerima kalau Jakarta memang semrawut, dia sudah siap dengan perjalanan yang selalu menguras tenaga, kereta yang selalu penuh berdesakan, jalanan yang selalu macet, suara klakson yang saling bersautan, lambat laun Sana menerima semua hal itu, bagaimanapun dia gatungkan semua mimpinya di kota ini.
Sebenarnya Sana hidup di desa yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, tapi tetap saja, Jogja dan Jakarta adalah dua kota yang tidak bisa dia samakan, baginya Jogja tetap tempat paling aman dan nyaman untuk hidupnya, dia berharap Jakarta juga akan menjadi tempat nyaman untuk pengalaman hidupnya, sampai dia lelah dan akan kembali ke Jogja.
Dia mengalihkan atensinya pada sosok laki-laki yang sekarang bersamanya, matanya menatap pergelangan tangannya yang digenggam.
Stasiun Manggarai memang sangat ramai, mungkin dia akan terpisah jika tidak digenggam tangannya, Sana terima perlakuan itu, setelah sampai pada kereta selanjutnya, genggamannya perlahan terlepas, Sana bisa bernafas lega, laki-laki yang bersamanya memang tak bermaksud apapun.
Dia bersyukur kereta yang akan membawanya ke Sudirman cukup sepi, dia bisa duduk setelah berdiri dari Juanda hingga Manggarai.
"Akhirnya duduk juga, capek banget kaki gue.."
Suara lenguhan yang cukup bisa Sana dengar membuat Sana sadar, jika teman kosaannya itu memiliki penampilan yang rapih, pakaiannya terlihat bagus, wajahnya yang putih bersih juga seakan mengatakan kalau dia menjaga penampilannya, tidak seperti laki-laki di kamar bawah, Sana bergidik ngeri, tak terbayangkan jika yang menawarkan bantuan adalah laki-laki yang penampilannya seperti preman, yang setiap hari selalu melontarkan catcalling pada Sana.
Tidak, Sana tidak melihat seseorang dari penampilan, hanya saja Sana kurang suka dengan seseorang yang tidak menjaga penampilan nya, apalagi sikapnya tidak menghargai perempuan.
Ini pertama kalinya Sana sedekat ini dengan laki-laki yang tidak dia kenal. Ntah bagaimana caranya Sana mengajaknya berkenalan, dia takut salah, tapi laki-laki ini sudah banyak membantu, rasanya salah juga jika Sana tak menanyakan namanya.
"Oh ya mba.. Nama saya Tzul.."
"Tzulfikar.. "
Seakan membaca pikiran Sana, uluran tangan yang kini ada di hadapannya, membuat dia tertegun, apakah cara berkenalan dengan orang baru semudah itu pikirnya, tapi kenapa dia tidak bisa melakukannya, dia selalu saja berpikir terlalu berat, padahal hal itu mudah untuk sebagian orang tapi tidak untuk Sana.
Sana terima uluran tangan itu, sebisa mungkin tersenyum ramah, dia tidak ingin terlihat kaku.
"Sana..."
°°
See You^^