5

263 48 11
                                    

Dia jadi diam, mengaduk lemon ice yang dia beli sepulang dari kantor, dia meringis sendiri, dia rasa dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa sikap Tzul berubah.

Wajah Tzul terlihat masam, walau beberapa menit kemudian Tzul tersenyum, tapi dia merasa kalau itu senyum yang tak sama seperti sebelumnya.

Rasa asam dan manis dari lemon ice membuat kekhawatiran nya sedikit terlupakan, mungkin itu memang hanya perasaanya saja, atau mungkin Tzul sedang banyak pikiran, ntahlah, lagian dia tak terlalu mengenal tetangganya itu, kenal saja baru tadi pagi. Sana tak mau terlalu ambil pusing. Hidupnya di Jakarta sudah terlalu berat, dia harus fokus pada tujuan utamanya berada disini.

Suara dari rice cooker mengusir rasa bersalahnya, dia tersenyum nasinya sudah matang. Banyak hal yang dia syukuri hari ini, wawancara nya berjalan lancar, dia merasa terhormat karna mendapat respon baik dari direktur nya langsung, harapannya jadi meningkat, perusahaan yang berdiri di bidang Farmasi itu memang bukan perusahaan sembarangan, produknya sudah sangat dipercaya masyarakat.

Senyumnya semakin lebar ketika menatap satu potong ayam penyet dengan baluran cabe hijau yang sangat dia rindukan, tak lupa beberapa bungkus kerupuk menemani makan sorenya.

Perjuangan yang digadaikan di Kota ini memang belum membuahkan hasil, tapi dia percaya, ada saatnya semua rasa lelahnya dibayar tunai, yang harus dia lakukan hanya fokus pada satu tujuan, fokus nya tak boleh terpecah belah.

Semoga kali ini Tuhan mengabulkan doanya.

Rasa rindu kampung halaman selalu saja menjadi duka anak rantau, rasanya menelan makanan yang sangat dia impikan saja sesulit ini.

Dia bukan perempuan yang selalu meromantisasi kesedihan, tapi ada kalanya dia merasa lelah, dan ingin menangis sejadi-jadinya. Sekuat apapun pundak anak pertama, dia tetaplah manusia biasa.

Tak ada gunanya jika terus-terusan merasa paling susah, diluar sana masih banyak manusia yang bahkan untuk makan saja sulit, dia menarik nafasnya, mengafirmasi dirinya sendiri. Sekarang suara kartun dari negari sebrang menemani nya untuk makan sore, dia tertawa, dengan perasaan senang makan jauh lebih terasa nikmat.

Benar kan?

Mungkin dia terlalu fokus akan tontonannya, sampai suara ketukan pada pintu kamarnya baru dia dengar.

"Iya sebentar.. " Katanya, saat suara pintunya terus diketuk, siapa pikirnya, dia tidak pernah mendapat ketukan pintu selain dari penjaga kos.

"Saya boleh ikut mandi?"

Saat pintu dia buka, matanya mengerjap berkali-kali, dia lihat Tzul yang hanya mengenakan kaos polos dan celana pendek diatas lutut, berdiri membawa handuk dan peralatan mandinya.

"Ikut mandi?" Kata Sana mengulang pertanyaan itu.

Tzul hanya mengangguk, suara kartun anak-anak yang sedang dia tonton seolah mengisi kebingungannya.

Mungkin karna tak kunjung mendapat balasan dari Sana, Tzul mulai memberikan gelagat tidak nyaman.

"Kalau ga boleh gapapa kok mba Sana.."

"Air di kamar Saya mati.."

"Saya mau numpang di kamar temen Saya,  tapi dia lagi pulang kampung.."

"Yaudah kalau gitu saya mau cari pom bensin aja, mandi di sana.."

"Eh... " Dengan reflek Sana mengenggam pergelangan tangan Tzul, bermaksud agar Tzul tidak pergi begitu saja, padahal Sana juga belum berbicara apapun.

WAIT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang