Dia kendarai motor yang dia sewa dengan pelan sesekali berhenti untuk memastikan apakah jalan yang dia ambil benar.
Setibanya di jogja kemarin sore dia sudah coba menghubungi Sana. Memberi tau Sana kalau dia ingin bertemu. Tapi semua pesan nya tak mendapat balasan dari Sana.
Kalau apa yang Danu katakan benar bahwa Sana akan menikah. Tzul pikir mungkin Sana memang sedang sibuk mempersiapkan semuanya dan tak sempat membalas pesan darinya atau Sana dengan sengaja tak memperdulikan pesannya.
Google maps membawa dirinya tak tentu arah sudah hampir satu jam alamat yang dia tuju tak menemukan titik terang. Seharusnya alamat rumah Sana tak jauh dari pusat kota.
Dia putuskan untuk berhenti di warung makan mengingat kalau dia belum sempat sarapan sedangkan jam sudah hampir siang.
Suara korek api yang dia nyalakan terdengar nyaring membakar rokok yang sekarang dia sesap. Sambil menunggu pesanan makan nya dia cek kembali pesan yang dia kirim pada Sana.
Jangankan mendapatkan balasan dibaca saja tidak. Kepulan asap dari rokok terbawa angin berterbangan bersama dengan pikiran-pikirannya tentang Sana.
Rasa percaya dirinya runtuh. Mungkin dia sudah terlambat, mungkin sekarang Sana sudah membencinya atau mungkin Sana sudah bahagia dengan pernikahannya.
Satu piring lontong sayur sudah ada di hadapannya, dia tak mau membuang waktu segera menghabiskan makannya, dia tidak mau kalah oleh rasa khawatirnya sendiri.
Bisa saja sekarang Sana sedang menunggunya datang.
Satu suapan terakhir lontong sayurnya tak jadi dia telan setelah handphone nya berbunyi. Dia bisa lihat nama Sana yang terpajang dalam notifikasi handphonenya.
Dia buru-buru membaca pesan itu, Sana membalasnya dengan baik. Nafas yang seolah menghimpit hati akhirnya sekarang bernafas lega. Angin segar menyambutnya, harapannya datang kembali, dia yakin dia belum terlambat.
..
.
.Setelah membaca semua pesan dari Sana dia langsung mengganti tujuan pada google maps nya. Motornya melaju lagi membelah jalanan kota Jogja.
Memakan waktu kurang lebih satu jam perjalanan motor beat sewaan nya tiba di cafe yang sudah Sana tentukan untuk pertemuan mereka.
Perasaannya tidak tenang rasanya seperti pertemuan pertama dengan Sana, dia gerakan kakinya beberapa kali untuk mengusir rasa cemas. Tak memakan waktu lama matanya menangkap sosok Sana masuk kedalam cafe.
Pikirannya mulai campur aduk, harus berbicara apa sekarang pada Sana, harus dari mana dia menjelaskan pikirnya.
"Apa kabar Mas?.. "
Senyum yang sudah lama sekali tak dia lihat akhirnya bisa dinikmati kembali. "Baik.. " Katanya singkat kemudian persilahkan Sana untuk duduk.
"Maaf ya. Saya gabisa ajak Mas ke rumah.. "
Tzul tak habis pikir Sana terlihat santai saja. Nada bicara nya bahkan tak kaku seperti biasanya.
"Oh—gapapa. Begini aja udah cukup.. " Kata Tzul.
Ucapan Tzul dibalas senyum oleh Sana. Sana membuka buku menu, membolak balikan lembar demi lembar. Tanpa sepengetahuan Tzul sebenarnya Sana mati-matian menutupi rasa sedih yang bercampur bahagianya. Dia bahagia akhirnya Tzul datang untuk mencarinya walau tak tau pasti untuk apa, tapi perasaan Sana sudah begitu lega karna Tzul masih memikirkannya. Tapi kebahagiaan yang dia rasakan bahkan tak bisa menetap lama karna rasa sedih siap menanti.
Mungkin saja ini adalah pertempuran terakhir nya dengan Tzul karna lusa dia sudah akan menjadi istri dari Dedex.
"Sana.. "
