22 | Menjalani Ritual

1K 84 24
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rasyid menatap Tari yang sejak tadi ada di dekatnya. Pria itu berusaha keras menahan tawa setelah mendengarkan pembicaraan di luar, antara Alwan dan Ziva. Tari memberinya kode tanpa suara, agar tidak ada sedikit pun suara tawa yang boleh terdengar dari mulut suaminya. Mereka sama-sama menatap ke arah Karin yang saat itu sedang ditemani berdzikir oleh Hani. Keduanya sama-sama memikirkan soal ide gila yang dicetuskan oleh Ziva, agar Alwan-lah yang melamar Karin.

"Menurut kamu, apakah Al akan memikirkan ide gilanya Ziva?" tanya Rasyid, berbisik.

"Hm. Bisa jadi," jawab Tari, ikut berbisik.

"Oh, ya? Kenapa menurutmu Alwan akan memikirkan ide gila itu? Kamu dengar sendiri barusan pengakuannya, kalau Alwan merasa tidak punya perasaan apa pun terhadap Karin."

Rasyid ingin tahu sudut pandang Tari mengenai hal itu. Tari jelas ikut memikirkan hal tersebut, karena Tari tidak pernah absen memikirkan semua tindak-tanduk anggota tim mereka selama ini--baik itu saat bekerja ataupun pada saat tidak bekerja. Tari jelas punya kesimpulan sendiri soal Alwan, sehingga Rasyid berani menanyakannya.

"Seperti yang Ziva katakan, bahwa Alwan tidak perlu ragu dengan perasaannya terhadap Karin. Dia langsung merasa sangat khawatir terhadap Karin, setelah tahu apa yang dialami wanita itu selama ini. Padahal jika kita ingat-ingat lagi, Alwan selama ini tidak terlalu banyak peduli dengan kondisi orang lain dan hanya peduli untuk menyelesaikan masalahnya saja. Dia merasa kasihan dengan korban teluh, tapi tidak pernah memperlihatkan ekspresi khawatir yang berlebihan. Sementara terhadap Karin, dia jelas menunjukkan sesuatu yang berbeda dan kita sudah sama-sama melihatnya ketika baru tiba tadi," jelas Tari.

"Tapi mungkin saja, kalau ekspresi yang kita lihat itu terjadi hanya karena Alwan sudah kenal Karin sejak kecil," sanggah Rasyid.

"Kamu juga mengenalku sejak masih remaja, tepatnya saat aku baru lulus SMP. Awalnya kamu tidak punya perasaan apa pun terhadapku ketika kita masih SMA. Kamu baru jatuh cinta sama aku setelah kita mulai sama-sama bekerja di tengah masa perkuliahan. Kamu enggak pernah, ya, menyadari soal bagaimana ekspresi khawatirmu ketika sesuatu terjadi padaku saat pertama kali kamu memiliki perasaan untukku? Ekspresimu itu sama persis seperti ekspresi yang Alwan tunjukkan tadi, Sayangku. Bahkan Mika, Hani, dan Ziva bisa mengonfirmasi hal itu jika kamu menanyakannya."

Diingatkan seperti itu oleh Tari, jelas membuat wajah Rasyid memerah sempurna tanpa bisa dicegah. Tari tersenyum ketika menatapnya, lalu mencubit pelan pipi kanan pria itu dengan lembut akibat tak bisa menahan gemas.

"Dan sekarang aku sudah punya copy-paste dirimu di rumah. Revan jelas seratus persen sama persis seperti kamu, kalau sedang malu-malu kuda seperti ini," ujar Tari, apa adanya.

"Kucing dong, Sayangku. Yang betul itu, kucing. Malu-malu kucing, Tari Sayangku," ralat Rasyid, tidak ingin dirinya disamakan dengan kuda.

Di rumah Keluarga Sudrajat, Ramdan kini sudah menyiapkan semua keperluan ritual seperti yang Rasmin katakan tadi. Semua persyaratan telah dipenuhi dan sedang diatur di atas meja dalam kamar ritual. Dua ekor ayam jantan muda, tiga belas butir telur ayam kampung, kopi pahit dan manis, ketan hitam dan putih,  jantung pisang, kemenyan merah, serta bunga tujuh rupa telah berada di atas meja yang tersedia di kamar ritual. Djarot dan Rina ikut membantu melengkapi keperluan tersebut. Mereka jelas tidak mau ada yang kurang atau tidak bisa dipenuhi, karena hal tersebut akan memberi imbas pada usaha Rasmin yang hendak kembali memperkuat teluh gantung jodoh untuk Karin.

"Mari kita mulai ritualnya," ajak Rasmin.

Ramdan hanya mengangguk, lalu bersiap di tempatnya yang biasa. Rasmin sendiri kini menempati bagian seberang meja ritual. Mulutnya mulai berkomat-kamit membaca mantra sambil membakar kemenyan putih pada sebuah wadah tanah liat. Asap dari wadah tanah liat itu mengepul cukup banyak, hingga hampir memenuhi seluruh bagian kamar ritual tersebut. Ramdan terus memejamkan kedua matanya seperti biasa dan memilih mempercayakan semuanya pada Rasmin.

Rina masih saja berjalan mondar-mandir di luar kamar ritual. Perasaannya masih tidak bisa tenang, meski saat ini Ramdan sedang dibantu oleh Rasmin untuk melemahkan pertahanan di rumah orangtua Karin. Djarot juga ikut memperhatikan pintu kamar ritual dengan persaan gelisah. Ini pertama kalinya ia kembali merasa terusik, setelah sekian lama tidak pernah merasakannya lagi. Perasaan terusik itu sangatlah mengganggu baginya, karena yang ia pikirkan saat ini terhubung dengan calon menantu yang paling diinginkan dalam keluarganya. Ia benar-benar tidak akan bisa menerima kenyataan, apabila Karin gagal menjadi menantu Keluarga Sudrajat. Selain karena hal itu akan mencoreng nama baik--akibat perkara mereka tidak bisa meminang wanita secantik Karin untuk Ramdan--Keluarga Sudrajat juga jelas akan mengalami kesialan soal rezeki jika Ramdan tidak menikah dengan Karin yang dinilai memiliki keberuntungan dari hari lahirnya.

"Apakah semuanya akan baik-baik saja, ya, Pak? Rasanya perasaanku kok semakin tidak enak," ungkap Rina.

"Aku juga merasakan hal yang mengganjal dalam hatiku sejak tadi. Entah akan terjadi apa nantinya, tapi aku harap hal itu tidak akan merusak keinginan dan rencana kita untuk menjadikan Karin sebagai menantu. Kita bisa merugi seumur hidup jika sampai Karin tidak bisa dinikahkan dengan Ramdan. Kita akan terus tertimpa sial, lalu usaha yang kita punya perlahan akan bangkrut," sahut Djarot, orang yang paling takut hidup miskin.

"Maka dari itulah aku menyuruh Ramdan menjerat Karin dengan teluh gantung jodoh. Aku juga tidak mau keluarga kita bangkrut dan harus hidup susah. Masa, iya, kita harus selalu kalah saing dengan keluarganya Bu Ita. Keluarganya Bu Ita memang keluarga terpandang di Desa ini sejak beberapa generasi. Tapi bukan berarti kalau keluarganya itu tidak bisa kita saingi. Kita harus menjadi salah satu keluarga terpandang di Desa ini agar semua orang semakin segan terhadap kita. Jalan satu-satunya agar hal itu terwujud adalah dengan menjadikan Karin sebagai menantu keluarga kita!" tegas Rina.

Djarot menghisap cerutunya lagi, meski saat itu perasaannya belum benar-benar tenang.

"Mungkin seharusnya Ramdan juga kita sekolahkan agar menjadi Dokter seperti si Alwan. Agar keluarga kita bisa dianggap terpandang seperti keluarganya Bu Ita," pikir Djarot.

"Alah! Tidak perlu! Buat apa Ramdan jadi Dokter, kalau ujung-ujungnya dia harus kehilangan istri dan menjadi duda seperti si Alwan? Ih! Amit-amit jabang bayi kalau sampai anak kesayanganku menjadi duda seperti dia!" sahut Rina, sambil memperlihatkan ekspresi jijik di wajahnya.

"Hm, iya juga. Kamu jelas benar mengenai hal itu. Tidak ada gunanya juga kalau Ramdan menjadi Dokter tapi harus menyandang predikat duda seperti si Alwan," Djarot pun setuju.

* * *

TELUH GANTUNG JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang