3 | Menemukan Yang Terasa Ganjil

1.2K 103 37
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Yasmita tertawa senang pagi itu. Di tangannya ada selembar surat ketiga yang ternyata berasal dari Mika. Wanita paruh baya itu begitu bersemangat meminum jus stroberi yang Alwan buatkan, tanpa peduli dengan rasanya yang lumayan asam di lidah. Keadaan Yasmita sendiri sudah jauh lebih baik daripada semalam. Alwan terus menjaganya dan memeriksa tensinya. Sehingga apa yang Alwan usahakan untuk Ibunya benar-benar memberikan hasil meski masih perlahan.

"Ayo, Ibu sarapan dulu. Ini buburnya sudah jadi," ujar Alwan, bersiap akan menyuapi Ibunya.

"Sabar, Nak. Biarkanlah Ibu menyelesaikan membaca surat dari Nak Mika lebih dulu. Ibu sedang senang-senangnya pagi ini, jadi ditunda dulu sarapannya," pinta Yasmita.

"Bu, jangan begitu. Ayo, Ibu sarapannya sambil tetap membaca surat dari Mika. Biar aku yang suapi," bujuk Alwan.

"Alwan," rajuk Yasmita.

"Sarapan, Bu. Atau aku akan telepon Mika agar dia yang membujuk Ibu secara langsung."

"Eh ... jangan, dong. Nanti Nak Mika tidak bisa konsentrasi menjaga si kembar tiga kalau sampai kamu meneleponnya sepagi ini. Kasihan, Nak Santi. Dia tidak akan bisa mengurus rumah dengan tenang kalau kamu mengganggu tugas Nak Mika menjaga si kembar tiga."

"Kalau begitu ayo, cepat buka mulut, Bu. Ibu bisa kasihan sama Santi, masa tidak bisa kasihan sama aku. Aku juga butuh dikasihani oleh Ibu, karena sejak semalam kerjaku terus saja membujuk Ibu dengan telaten. Rasa-rasanya aku lebih senang membujuk Batagor atau Ketoprak yang lagi ngambek, deh, daripada membujuk Ibu," ungkap Alwan, soal perasaannya yang terdalam.

"Oh, Cah bandel!" omel Yasmita, seraya mencubit lengan Alwan dengan penuh keikhlasan. "Bisa-bisanya kamu lebih sayang kucing daripada Ibu! Hm!"

"A-du-du-duh! Aku sayang sama Ibu, kok. Demi Allah. Cuma masalahnya, Batagor dan Ketoprak lebih gampang aku bujuk daripada Ibu. Makanya sekarang aku jadi kangen sama dua kucing yang namanya bisa masuk ke dalam Kartu Keluarga itu," jelas Alwan, sambil meringis kesakitan.

"TIDAK!!! POKOKNYA AKU TIDAK MAU MELANJUTKAN APA PUN!!! AKU TIDAK MAU MEMILIKI IKATAN APA PUN DENGAN PEREMPUAN PEMBAWA SIAL SEPERTI DIA!!!"

Suara seseorang yang terdengar sangat keras itu jelas mengagetkan Alwan maupun Yasmita. Cici--yang sedang menyapu di halaman rumah--mundur perlahan menuju pintu, sambil mengusap-usap dadanya dengan ekspresi penuh rasa kasihan.

"Ada apa itu di luar, Bi Cici? Kenapa ada orang ribut-ribut?" tanya Alwan.

"Itu, Den Alwan. Anu ... Nak Karin sepertinya akan gagal menikah lagi. Calon suami yang tadinya sudah dikenalkan dan setuju akan menikahi dia mendadak tidak mau melanjutkan urusan yang sudah hampir rampung. Padahal rencananya besok Nak Karin seharusnya menikah," jawab Cici.

"Karin? Karin putrinya Pak Didi?" Alwan ingin memastikan.

"Iya, Den. Benar."

Alwan langsung mengerenyitkan keningnya.

"Loh, bukannya Karin sudah lama menikah, ya? Dulu sebelum aku menikah, rasanya dia sudah akan dinikahkan duluan oleh Pak Didi dan Bu Fitri," herannya.

"Gagal, Nak," sahut Yasmita. "Setiap kali Karin akan dinikahkan dengan seseorang, orang itu awalnya setuju karena tertarik dengan Karin. Tapi setelah persiapan pernikahan hampir rampung, selalu saja semuanya gagal terjadi. Entah apa yang sebenarnya melekat pada diri Karin. Tapi yang jelas, Ibu merasa sangat kasihan padanya karena dia akan menjadi yang dipojokkan oleh pihak laki-laki jika usaha pelaksanaan pernikahan itu kembali gagal."

Alwan pun segera menyerahkan mangkuk bubur ke tangan Cici, agar bisa menggantikannya menyuapi Yasmita. Ia sendiri beranjak keluar dari rumah untuk melihat situasi. Para tetangga lain terlihat sedang melihat dari halaman rumah mereka masing-masing. Keadaan rumah milik Didi masih begitu panas dan tidak ada yang berani mendekat. Mereka tampaknya tidak mau ikut campur sama sekali, karena takut akan disalahkan juga oleh pihak laki-laki yang sedang mengamuk.

"POKOKNYA SEMUA KERUGIAN MATERI YANG SUDAH KAMI KELUARKAN HARUS SEGERA DIGANTI!!! KAMI TIDAK MAU TAHU!!!"

"ITU BENAR!!! KAMI TIDAK MAU DIRUGIKAN OLEH KALIAN!!! KARENA SEMUA INI ADALAH SALAH DARI ANAK KALIAN SENDIRI!!!"

Mendengar tuntutan dan tuduhan tidak masuk akal itu, Alwan pun segera keluar dari halaman rumahnya dan mendekat ke rumah milik Didi. Para tetangga lain hanya bisa menahan nafas ketika melihat Alwan mendatangi tempat kejadian. Mereka tidak bisa menghalangi, karena mereka tidak punya hak untuk melarang-larang Alwan yang notabene adalah putra dari keluarga terpandang di Desa itu.

"CUKUP!!! SEMUANYA TOLONG BERHENTI BERTERIAK-TERIAK!!!" lerai Alwan, sangat keras.

Semua tatap kini terarah pada Alwan yang berdiri di tengah-tengah antara keluarga Didi dan juga keluarga calon mempelai pria. Hal ganjil yang semalam dirasakan oleh Alwan akhirnya terasa kembali dengan sangat jelas. Alwan akhirnya tahu kalau rumah milik Didi adalah pusat hal ganjil yang ia rasakan. Namun saat itu, fokus Alwan bukanlah pada hal ganjil tersebut. Fokus Alwan kali itu adalah untuk menghentikan teriakan-teriakan dan tuduhan tidak benar yang tertuju terhadap Karin.

"Jika kalian ingin membatalkan rencana pernikahan secara sepihak, silakan. Jika kalian ingin Putra kalian tidak ada ikatan apa pun dengan Putri Bapak Didi, silakan. Tapi ingat satu hal, jangan coba-coba menuntut hal yang tidak masuk akal dan jangan coba-coba mencoreng nama baik Putri Bapak Didi yang tidak melakukan kesalahan apa pun! Jika kalian berani menuntut yang tidak masuk akal dan juga mencemarkan nama baik Putri Bapak Didi, maka aku tidak akan segan-segan melaporkan kalian pada Polisi! Camkan itu baik-baik!" tegas Alwan, dengan nada bicaranya yang setenang biasa.

"Apa hak kamu melarang kami untuk menuntut mereka memberikan ganti rugi? Kami merasa dirugikan karena telah mengeluarkan uang untuk rencana pernikahan yang pada akhirnya akan batal terjadi! Jadi ...."

"Siapa yang datang melamar?" potong Alwan dengan cepat. "Pak Didi yang melamar Putra kalian, atau kalian yang melamar Putri Pak Didi? Jawab!"

Keluarga calon mempelai pria mendadak terdiam ketika Alwan mempertanyakan soal lamaran.

"Kalian 'kan yang datang melamar? Jelas tidak mungkin Pak Didi yang melamar Putra kalian. Pak Didi jelas masih punya harga diri meskipun Putrinya tidak kunjung menikah. Lalu ketika pada akhirnya kalian membatalkan rencana pernikahan ini secara sepihak, kalian ingin menuntut ganti rugi dari keluarga Pak Didi dengan dalih semuanya batal karena salah Karin? Menurut kalian hal itu masuk akal?"

Tidak ada satu orang pun yang berani buka mulut. Semua orang dari pihak calon mempelai pria merasa mati kutu ketika berhadapan dengan Alwan. Mereka semua memilih diam, karena takut salah bicara dan akan segera diperkarakan ke pihak berwajib.

"Jangan main-main. Kalau kalian berani main-main dengan keluarga Pak Didi, akulah yang akan kalian hadapi dan Demi Allah aku akan membuat kalian jatuh sejatuh-jatuhnya akibat dari berhadapan dengan hukum! Jadi jangan banyak bicara lagi. Kesalahan jelas bukan ada pada Karin. Dia hanya seorang wanita yang patuh pada kedua orangtuanya dan hanya menuruti apa yang dirasa baik oleh kedua orangtuanya. Kesalahan ada pada diri kalian sendiri yang membatalkan rencana pernikahan ini secara sepihak. Jadi sebelum aku benar-benar memanggil Polisi, sebaiknya kalian segera angkat kaki dari sini sekarang juga," titah Alwan.

Keluarga dari calon mempelai pria benar-benar angkat kaki sesegera mungkin. Alwan masih berusaha bertahan di tengah hawa ganjil yang ia rasakan. Ia tahu bahwa dirinya sedang di kelilingi oleh hal tak kasat mata. Hanya saja, saat itu tidak ada Ziva atau Raja yang bisa mengonfirmasi soal firasat kuatnya.

"Ya Allah, bantu aku. Lindungilah aku ketika akan menghadapi yang tak terlihat," batin Alwan, terus mengucap doa.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH GANTUNG JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang