5 | Bicara Pada Tari

1.2K 96 13
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Sepulangnya Alwan dari rumah milik Didi, ia segera mencoba menghubungi Tari. Yasmita--yang saat itu sedang membaca surat dari Ziva--menatap wajah putranya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia tahu persis, bahwa Alwan pasti sedang memikirkan mengenai persoalan Karin yang terus saja gagal menikah. Ia sangat mengenal Alwan dan paham bahwa putranya tersebut tidak akan tinggal diam, jika ada masalah yang menurutnya terasa aneh.

Alwan sudah memiliki sifat itu sejak masih kecil. Tidak ada satu masalah pun yang akan dilewatkan oleh Alwan begitu saja, tanpa ada penyelesaian. Bagi Alwan, setiap masalah memang harus diselesaikan. Tidak akan baik jadinya jika masalah dibiarkan terus berlarut-larut. Masalah itu akan semakin kusut apabila tidak diurai sampai tuntas. Itulah prinsip Alwan.

"Halo, Tar. Assalamu'alaikum," sapa Alwan, ketika akhirnya telepon diangkat di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam, Al. Ini aku, Rasyid. Kamu itu keterlaluan, ya! Raja sudah berpesan agar segera menelepon ketika sampai di Semarang dan aku sudah bilang kalau kamu kangen langsung bilang saja ... eh ... malah kamu enggak ada niatan mengabari sama sekali! Sekarang, kamu lebih memilih menelepon Istriku daripada menelepon aku! Minta dimusuhi kamu, rupanya!" omel Rasyid, panjang lebar.

"Astaghfirullah hal 'adzim," Alwan dengan sengaja beristighfar cukup keras.

Rasyid langsung terpaku di tempat, setelah omelan panjangnya dibalas dengan istighfar oleh Alwan.

"Heh! Kamu pikir aku ini ...."

"Sudah ... sudah ...! Kenapa sih kamu suka sekali berceramah sama Al? Sana, ceramahi saja Batagor agar dia tidak mengajak Revan berkelahi," titah Tari, yang bisa terdengar oleh Alwan dengan jelas.

Alwan langsung berusaha menahan tawanya. Ia tahu persis kalau Rasyid pasti sedang menggerutu panjang setelah mendapat teguran dari Tari. Hal itu sudah sangat Alwan hafal dengan baik, sehingga ia bisa menebaknya meski tak melihat secara langsung.

"Halo, Al. Ada apa? Apakah ada masalah di Semarang?" tanya Tari, usai berhasil merebut ponselnya dari genggaman Rasyid.

Rasyid kini terlihat berada di ruang tengah dan sedang membujuk Batagor agar tidak perlu mengajak Revan berkelahi. Revan sendiri kini sedang berusaha memanjati punggung Ayahnya untuk membuat Batagor cemburu. Tari hanya mengawasi mereka sambil berbicara dengan Alwan di telepon.

"Halo juga, Tar. Iya, kamu benar. Sedang ada masalah pada salah satu tetanggaku di sini. Dan aku rasa, masalahnya berhubungan dengan pekerjaan kita. Aku butuh bantuan seluruh anggota tim kita, Tar," jawab Alwan, tanpa berusaha menutup-nutupi apa pun.

"Tunggu dulu, Al. Sabar. Coba ceritakan dulu padaku dari awal. Kenapa bisa kamu sampai merasa bahwa masalah yang terjadi pada tetanggamu itu berhubungan dengan pekerjaan kita? Kamu merasakan atau melihat sesuatu yang tidak lazim?" Tari ingin tahu detailnya.

Alwan menghela nafas selama beberapa saat. Ia berusaha menenangkan diri lebih dulu, sebelum menceritakan semuanya pada Tari. Perasaannya harus stabil, atau dirinya akan menjadi kehilangan keseimbangan tanpa ia sadari.

"Jadi begini, Tar, semalam ketika aku tiba di Desaku ini, mendadak aku merasakan sesuatu yang terasa ganjil. Aku tidak tahu hal ganjil apa yang aku rasakan. Desaku terasa sangat sepi tadi malam, tepat pada malam jum'at. Padahal seingatku, dulu saat malam jum'at tiba Desa ini justru sangat ramai karena selalu digelar pengajian di masjid. Dengan melihat dua hal aneh itulah, akhirnya aku bertanya pada salah satu warga yang membantuku membawa semua oleh-oleh yang kubawa. Namanya Pak Tarmin. Pak Tarmin bilang padaku, sejak meninggalnya Almarhum Kiayi Ahmadi yang tak lain adalah Kiayi paling terkenal di Desaku ini, malam jum'at di Desa ini memang tidak lagi seramai dulu. Orang-orang memutuskan masuk ke rumah lebih cepat, karena takut akan sesuatu. Lalu saat kutanya apa urusannya malam jum'at yang sepi dengan meninggalnya Almarhum Kiayi Ahmadi, Pak Tarmin pun menjawab bahwa meninggalnya Kiayi Ahmadi itu terjadi secara mendadak dan misterius. Hal itulah yang menjadi awal sepinya Desa ini ketika malam jum'at tiba. Nah ... pagi ini ada hal yang lebih membuatku meyakini soal hal ganjil yang aku rasakan semalam."

"Hm. Apa itu? Apa yang membuatmu yakin soal hal ganjil yang kamu rasakan, Al?" Tari terus mencatat semua yang Alwan katakan.

"Pagi ini terjadi keributan dirumah tetangga terdekatku, Tar. Keributan itu terjadi karena Putri mereka kembali gagal menikah, karena pihak calon mempelai pengantin pria mendadak membatalkan rencana pernikahan tersebut. Ibuku mengatakan padaku, bahwa hal itu sudah berulang-ulang terjadi pada Karin. Setiap kali Karin dijodohkan oleh orangtuanya dan sudah menjalani persiapan pernikahan, maka rencana pernikahan itu akan gagal tepat satu hari sebelum pernikahannya terlaksana. Aku kemudian keluar dari rumah ketika mendengar teriakan-teriakan yang semakin lantang. Aku memutuskan melerai mereka tepat di halaman rumah orangtua Karin, setelah mendengar bahwa keluarga calon mempelai pria menuntut ganti rugi yang tidak masuk akal kepada kedua orangtua Karin, serta berusaha menyalahkan Karin atas gagalnya rencana pernikahan itu. Dan pada saat aku tiba di halaman rumah kedua orangtua Karin itulah, aku merasakan lagi hal ganjil yang aku rasakan semalam. Hal ganjil itu sangat terasa kuat di sekelilingku, Tar. Aku sampai tidak bisa berhenti berdzikir dalam hati meski sedang bicara dengan orang-orang yang menuntut ganti rugi itu. Kupikir, andai Raja dan Ziva ada di sisiku saat itu, sudah pasti mereka akan melihat adanya makhluk tak kasat mata yang sedang berusaha mengusirku dari rumah orangtua Karin," jelas Alwan.

Tari memikirkan semua hal yang sudah Alwan sampaikan. Ia jelas juga bisa merasakan, bahwa apa yang Alwan sampaikan bukanlah hal yang bisa dianggap biasa saja. Alwan bukan seorang indigo. Namun Tari dan yang lainnya tahu bahwa Alwan memiliki kepekaan yang luar biasa, terutama ketika mulai ada makhluk-makhluk tak kasat mata berbahaya di sekitarnya.

"Dan satu lagi," tambah Alwan. "Ketika akhirnya aku bicara mengenai permasalahan Karin kepada Pak Didi yang tak lain adalah Bapaknya, Pak Didi mengatakan padaku bahwa apa yang terjadi pada Karin berawal ketika Almarhum Kiayi Ahmadi meninggal dunia secara mendadak. Tadinya Karin sudah dijodohkan dengan salah satu santri Almarhum Kiayi Ahmadi yang mondok di daerah Solo. Namun ketika Almarhum Kiayi Ahmadi meninggal dunia, laki-laki itu mendadak membatalkan rencana pernikahannya dengan Karin yang hanya tinggal satu hari. Kejadiannya sama seperti yang aku lihat tadi, Tar. Laki-laki itu membatalkan secara sepihak, lalu dia dan keluarganya menuntut ganti rugi yang tidak masuk akal untuk merugikan pihak keluarga Pak Didi. Selain itu, si calon mempelai pria menyalahkan Karin atas batalnya rencana pernikahan mereka, padahal Karin tidak melakukan apa-apa. Sejak saat itulah, setiap kali Karin dijodohkan maka semuanya akan terulang."

"Oke. Sekarang aku paham dengan semua ceritamu. Insya Allah aku akan segera mengabari kamu, nanti, setelah berunding dengan seluruh anggota tim kita. Sebaiknya kamu terus mengawasi rumah Pak Didi dari rumahmu jika memang terlihat. Pokoknya, kabari aku jika ada sesuatu yang menurutmu ganjil atau aneh," pinta Tari.

"Oke, Tar. Akan aku tunggu kabar darimu. Assalamu'alaikum," pamit Alwan.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah sambungan telepon dengan Tari terputus, tatap mata Alwan benar-benar tertuju ke arah rumah milik Didi. Yasmita mendekat pada putranya, lalu meremas pundak kanannya agar tahu kalau dirinya sedang mendekat. Alwan menatap Ibunya begitu dalam, sehingga Yasmita tahu kalau Alwan benar-benar serius ingin membantu permasalahan Karin.

"Apa pun pekerjaanmu sebenarnya bersama anggota tim yang kamu miliki, Ibu hanya ingin kamu selalu menjaga diri. Ingat, kamu harus selalu membentengi dirimu agar selalu kuat dalam setiap kesempatan. Minta perlindungan kepada Allah. Jangan sampai lupa," saran Yasmita, seraya tersenyum.

Alwan pun balas tersenyum dan kemudian mengangguk.

"Iya, Bu. Insya Allah aku tidak akan pernah lupa," tanggap Alwan, seraya mencium punggung tangan Ibunya.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH GANTUNG JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang