Jelas Bima tahu arah pembicaraan yang akan dibahas oleh Jeha nantinya. Jadi, dia memutuskan bermalam di apartement milik sang mama yang telah diberikan untuknya setahun belakangan usai perceraian.
Bima memang selalu begitu. Tiap kali Jeha atau pun Lisa mencoba menerobos hidupnya, pasti dia akan menghindar bagaimana pun caranya. Sungguh, Bima hanya ingin tenang tanpa bayang-bayang keduanya yang sangat memuakkan.
Kini, yang biasa dilakukan Bima hanya menatap langit-langit kamar, dengan tangan kiri menyelip di belakang leher sebagai bantalan.
"Chia ...." Sebutnya spontan. Rasanya cukup menenangkan.
Dengan kesadaran penuh jemari kanan Bima yang bebas, menelepon akun CH. Walau sudah pukul dua pagi, tapi Bima tidak peduli. Dia hanya membutuhkan moodbooster-nya, setidaknya untuk kali ini.
Dering lama. Tidak ada respon. Bima mendesah gelisah, tapi tetap berusaha menghubungi lagi dan lagi hingga akhirnya diangkat. Sontak saja Bima beranjak dari tidurnya, menepi dipinggir ranjang.
"Iya, Bimaaaa?"
Suara khas orang bangun tidur. Bima tersenyum mendengarnya. Sementara Chia baru keluar kamar mandi sembari mengucek mata, dan beberapa kali menutup mulut yang menguap.
"Hay?" kata Bima.
"Kok jam segini nelpon? Kenapa? Kamu kebangun? Atau kamu nggak bisa tidur? Lagi banyak pikiran, ya? Jangan bilang, sakit?" Beruntun pertanyaan Chia yang membuat Bima terkekeh senang.
"Jawab yang mana dulu ini?" Bima berpura-pura kebingungan.
Gantian Chia yang tertawa sambil membaringkan badan di sofa ruang tamu.
"Chia?" panggil Bima.
Baru Chia akan menjawab, sebelum akhirnya tertunda karena sang paman keluar dari pintu kamar. Chia terkesiap, refleks berdiri. Segera ponselnya di sembunyikan di belakang pinggang.
"Chia ... begadang, ya?" tebak Fitrah berjalan mendekat. Pria itu telah rapi dengan kemeja dongker dan celana bahan hitam yang digosok mengkilat.
Chia menggeleng. "Aku nggak begadang kok. Sumpah!" Jari telunjuk dan tengahnya teracung. "Aku kebangun tadi mau pipis aja ke kamar mandi. Emang Paman nggak liat muka aku kucel, gini?" Chia meraba wajahnya hingga berenti di sudut mata. "Tuh kan! Nih masih ada beleknya."
Fitrah terkekeh pelan, lalu menepuk puncak kepala Chia dengan gemas. "Chia. Jangan cepet gede, ya. Paman nggak rela kehilangan kemanjaan kamu yang menggemaskan banget gini. Apalagi cara kamu berekspresi. Bener-bener mood banget."
Astaga! Bima makin dibikin penasaran oleh Chia. Gadis yang hanya bermodal suara mampu menusuk jantung hatinya dari berbagai sisi. Tanpa aba-aba, semua mengalir begitu saja.
Bima memilih untuk diam pun setia menyimak obrolan Chia dan Fitrah sembari membaringkan badan di kasur. Tangannya menarik selimut hingga menutupi setengah wajah. Sedangkan handphone diletakkan di sisi kanan telinga agar secuilpun dia tidak ketinggalan topik pembicaraan.
"Tumben gini? Biasanya kalau aku berisik. Kalian pada komplain," balas Chia heran.
"Ya ... emang kadang keganggu sih. Kadangkan banyak kerjaan yang menguras pikiran, dan kamu suka banget tiba-tiba ngoceh nggak jelas. Tapi, sebenarnya kita yang di sini bahagia banget punya pelangi kaya kamu."
"Kok aku nggak terharu, ya?" Chia bertanya sambil mengedipkan mata berkali-kali. Memastikan matanya berkaca-kaca atau tidak setelah mendengar ungkapan tulus tersebut.
Ditoyor jidat Chia oleh Fitrah, antara kesal bercampur gemas. Kontan saja membuat Chia mencebikkan bibirnya.
"Oh, iya. Kapan kamu pindah ke Jakarta?" Fitrah mengalihkan obrolan sembari membimbing Chia untuk duduk bersisian. Sementara Bima yang sempat memejamkan mata spontan membelalak kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY CUTE CHIA (ON GOING)
Teen FictionJatuh cinta kepada sesosok wanita maya yang tidak di ketahui identitas dan wajah aslinya. Apakah itu normal? - Start 2024 Update kalau inget ya hihi Mari support aku ya, gais :-)