10

60 8 17
                                    

Terkecuali Bima dan Ade. Dera, Ira, Kiara bergabung di meja kantin yang ditempati Anjani, Erika, dan Chia. Usai menyelesaikan tugas terakhir di kelas yang telah di bagi tujuh tersebut. Tiga siswi baru itu yang kebetulan sekelas, memilih makan lebih dulu baru pulang ke rumah masing-masing.

"Tadi ... kamu sok ganteng banget, sih!" kesal Anjani melirik Dera di sampingnya sinis. Gadis itu masih ingat jelas bagaimana kelakuan kekasihnya yang sok ramah pada setiap murid baru, apalagi sama junior cewek.

"Bukan--"

"Itu secuil dari yang lo liat di kelas lo, An! Ih, lo nggak liat sih gimana Dera di ruang A tadi. Gila banget capernya," sela Ira mengompori.

Tangan Dera langsung mengudara. "Jangan percaya, ya, Honey. Ira kan gitu. Suka banget ngeliat kita berantem. Udah sering terbukti juga kalau dia suka bohong demi bikin kamu ngambek sama aku. Iya, kan?" ucapnya mencoba membela diri.

"Nggak semua ucapan Ira salah, ya, Der?" Mata Anjani memicing curiga. "Apa pun omongan temen-temen kamu ke aku ya harus tetep dipikirin. Kalau pun emang suka mengada-ada, tapi aku masih butuh pandangan objektif dari mereka."

"Honey, sini dulu." Dera meraih tangan Anjani, ingin membujuk, tapi secepat kilat cewek itu mengelak.

"Sini, Bim!" Kiara melambai saat melihat Bima memasukkan sebungkus roti di ransel yang tersamping di pundaknya.

Bima hanya menoleh, tanpa suara keluar pintu kantin begitu saja.

Chia mengamati begitu detail. Cara Bima berjalan. Cara Bima menatap. Cara Bima merespons. Dan Bima yang tidak pernah terlihat baik-baik saja.

"Selalu gitu, ya, dia?" Erika bertanya setelah Bima pergi.

Kiara menghela napas. "Ya, gitu. Sebenernya hari ini Bima ulang tahun," ungkapnya.  "Tapi, nggak ada happy-happynya sama sekali."

Jeda sebentar. Kiara menerawang ingatan beberapa tahun silam.

"Semenjak orangtua Bima pisah di hari ulang tahun dia. Bima nggak pernah lagi mau dirayain. Diberi selamat aja kadang suka marah. Tahun kemarin juga kita kasih supprise di appartementnya. Tapi, dia nggak buka pintu. Gue tau dia pasti udah liat dari monitor kalau kami." Kiara menunjuk Ira dan Dera bergantian. "Kami, bawa kue buat dia. Dia nggak usir kita, dan nggak bilang apa-apa juga. Ya, seolah-olah emang pernah ada yang terjadi. Besoknya, biasa aja."

"Bima ulang tahun?" batin Chia, tapi dia masih setia bungkam.

"Tinggal di apartemen yang mana, Kir?" Anjani menimpali.

"Jenshen Part."

--

Sampai di rumah Chia ngacir ke dapur. Mencari keberadaan Bi Minten, tapi wanita paruh baya itu tidak ada di setiap sudut rumah. Bahkan Chia sampai lari ke lantai dua demi menemukannya. Namun sama, tidak ada jejaknya.

Chia kembali ke ruang tamu, mengambil ponsel di tas, dan menelepon asisten rumah tangga itu.

"Bi? Di mana?" Tergesa-gesa Chia bertanya.

"Lagi di pasar, Non. Ada apa, ya?" jawab Bi Minten, di sekitarnya terdengar begitu bising.

"Pas banget!" Chia tersenyum puas. "Bibi, tolong beliin satu bungkus bubuk bronis ketan sama dua telur ayam, mesis, dan keju, ya. Aku mau bikin kue buat temen yang lagi ulangtahun."

"Oke, Non. Ada lagi?"

Chia mengheleng. "Udah itu aja. Cukup. Makasih banyak, ya, Bik."

Sambungan terputus. Chia masuk kamar menggeledah isi lemari gantungnya. Bubun bilang, beliau banyak membelikan Chia baju untuk sehari-hari di kota. Chia harus tampil cantik saat mengakui siapa dirinya yang di hadapan Bima.

MY CUTE CHIA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang