16
Entahlah. Ribuan kali Chia menggerutu, memaki dirinya sendiri karena telah seberani itu memeluk Bima di depan umum, dan mengutarakan perasaannya begitu manjanya. Benar-benar spontanitas diluar gudaan yang membagongkan.
Selepas dari kantin sampai pulang sekolah, Chia hanya bisa diam dan meratapi kebodohannya yang terus-menerus diejek-ejek oleh Anjani dan Erika. Seperti sekarang tangan Chia tidak henti-hentinya menyumbat telinga demi menghalau ledekan-ledekan kedua temannya yang sibuk mengerjakan PR sambil bergunjingi dirinya.
"Kangen, Sayang ...." Suara Anjani terngiang jelas meniru nada bicara manja Chia sewaktu di kantin. Pun Erika tidak tinggal diam, diletakkannya pena lalu memeluk Anjani erat. Seperkian detik kemudian mereka terpingkal-pingkal menatap mimik muka kesal Chia.
"Hay, Sayang!" Anjani melerai pelukan, berganti melambaikan tangan sembari mencodongkan kepalanya supaya bisa melihat muka Chia lebih jelas.
Lagi, dua sejoli itu tertawa ngakak. Sukses besar menggoda Chia habis-habisan.
"Udah sih, cukup!" Akhirnya Chia berkomentar, tangannya turun. Mengambil bolpoint dan mulai menyalin kunci jawaban di kertas polio yang ketua kelasnya berikan.
"Ciye, salting!" Ditoel Anjani dagu Chia. "Gapapa kali. Malah gue puas banget liat lo bisa begitu. Kan si Lisa jadi cacing kepanasan."
"Bener banget, tuh! Setuju!" sahut Erika mengacungkan jempol. "Kadang
Saat kita kena tindas, nggak melulu balas dendam. Cukup buktikan kalau lo bisa, dan jangan lupa beri senyuman. Biar dia makin naik pitam," sambungnya bijak."Begitu cara mengalahkan lawan, tanpa pakai tangan," timpal Anjani berseru senang.
Chia benar-benar tidak mengerti. Dia tidak ingin membalas apapun, hanya saja melihat Bima seintens itu dengan cewek lain membuat jantungnya seperti dicubit dari berbagai sisi. Sangat nyeri. Makanya gerakan refleks itu berjalan sempurna tanpa rencana.
--
Mamah
Mama udah dibasement. Otw ke appartemen kamu, ya.
Bima yang masih di ruang OSIS terdiam sesaat.
Mamahnya mengunjunginnya?
Hening lama. Sampai ponsel Bima berdering, muncullah seseorang yang dihindarinya menelepon, dan benar saja Bima tidak menanggapi. Dia berdiri menyambar ransel di meja, lalu mengayun langkah ke parkiran. Menuju pusat bahagianya.
Lima belas menit mengedari motor Bima berhenti tepat di depan bangunan minimalis yang ada kursi kayu panjang dan satu meja bundar berbahan kaca. Dia turun dari motor, meski sedikit ragu, tetap kakinya melangkah pelan hingga sampai di ambang pintu. Bima tahu ada bel, tapi dia memilih mengetuk pintu saja.
Pintu terbuka, muncullah seorang wanita paruh baya memakai baju bunga-bunga dan celana bahan hitam dengan rambut sebahu yang digerai.
"Cari siapa?" tanya wanita tersebut.
Bima pernah ke sini, tapi hanya bertemu asisten rumah tangganya saja. Namun yang sekarang?
"Chianya ada?" Hanya itu. Bima tidak tahu harus mengeluarkan kalimat apa.
Pintu yang tadi hanya dibuka setengah, kemudian terbuka lebar. Wanita itu menyingkirkan dari pintu. "Masuk, dulu," katanya mempersilahkan.
Bima menurut, walau ragu-ragu dia tetap duduk di satu sofa single setelah dipersiapkan. Tepat di depannya ada ayah Chia, Dewa Aditya.
Kepala Dewa mendongak, dahinya mengerut penuh tanda tanya. Tetangga sesiapa anak muda di hadapannya yang hanya diam tanpa menyapa.
"Anak siapa, Bun?" Dewa bertanya, sedikit memanjangkan leher demi melihat sang istri yang telah berlari ke dapur tanpa permisi.
"Pacar anak Ayah tuh!" balas Rere sembari meniriskan pisang goreng ke mangkuk. Itulah kenapa dia tidak ingin berlama-lama basa-basi dengan Bima di luar karena tengah menggoreng cemilan untuk keluarganya. Sebab Bi Minten sedang pulang kampung.
Mendengar kalimat itu, Bima terkejut bukan main. Bubunnya Chia mengetahui hubungan mereka yang baru sebesar ukuran jagung?
"Oh, Bima?" manggut-manggut kepala Dewa sambil mengulum senyum. Lantas menyesap kopi hangatnya di meja, setelahnya dia menatap Bima dari atas sampai bawah seperti tengah menilai.
Mulanya keadaan cukup mencekam. Setidaknya untuk Bima, tapi justru Dewa terkekeh senang.
"Kamu cuma mau diem aja?" tanya Dewa memastikan. "Om tau kamu itu dingin. Tau dari istri, sih. Walaupun istri Om juga taunya dari Chia. Tapi apa nggak bisa bersikap hangat sama calon mertua?" candanya. Membuat seulas senyum tercetak begitu jelas di bibir Bima.
Sedikit menunduk Bima menjawab, "Maaf, Om," canggungnya.
Dewa menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang.
Keadaan kembali hening.
Sampai akhirnya Rere datang membawa nampan berukuran sedang yang diisi pisang goreng dan dua es teh manis. Perlahan diletakkannya di meja, lantas dia ikut duduk di samping sang suami. Senyumnya merekah indah.
"Kabarnya, gimana?" Rere membuka obrolan.
Bima tersenyum kaku. Sungguh dia sempurna membeku tanpa tahu harus membicarakan apa pun.
"Baik," singkatnya.
Terkekeh geli Rere mendengar balasan Bima. "Jangan kaget ya kalau Tante sama Om udah tau siapa kamu," katanya. "Chia anak yang terbuka banget masalah apa pun. Termasuk tentang kalian."
Bima masih terdiam. Hanya menyimak. Begitu pun Dewa yang kini menyandarakan punggung di kepala sofa.
"Chia banyak cerita. Tentang awal perkenalan kalian, yang menurut Tante cukup ...."
Dewa langsung terbahak spontan membuat Rere menepuk pahanya memperingati. Takut Bima tersinggung nanti.
"Cukup gemes," timpal Dewa masih dengan tawanya.
Bima menggaruk tengkuknya. Sial, dia mati kutu mengingat bagaimana dengan mudahnya jatuh hati pada Chia, karena suara cerewet gadis itu. Bawel yang tidak membosankan, bahkan menjadi mood booster-nya ketika dia sedang dilanda stress berat. Kali ini Bima sangat mengakui bahwa Chia memang yang paling berarti.
"Ayah ...," tegur Rere sedikit mendelik galak.
"Ayah nggak ngapa-ngapain, Bun. Kan cuman berterus terang," kekeh Dewa terus-menerus.
"Maaf, Tante," ujar Bima. "Kalau boleh tau. Sejak kapan Om sama Tante tau hubungan saya sama Chia?" kepponya.
Rere menghela napas panjang, lantas tersenyum. "Semenjak Chia bagi rapot," ingatnya. "Waktu itu Tante kaget banget denger kabar Chia dapet peringkat belasan. Karena kami rasa mustahil banget, bukan meremehkan atau gimana, tapikan emang dari dulu Chia selalu peringkat tiga dari belakang. Jadi, Tante tanya ke dia. Gimana caranya dapetin nilai bagus dalam waktu singkat. Dan, ya, gitu. Semua dari kamu, cowok online yang baik, yang selalu membantu Chia menuntaskan tugas-tugasnya. Pas Tante minta dikenalin. Chia bilang kamu udah menghilang, akun kamu tutup permanen," jelasnya panjang lebar.
"Padahal Tante pengen banget ucapin terimakasih sama kamu, tapi terlambat," sambung Rere lesu seketika.
"Waktu mau kelulusan. Tiba-tiba Chia minta untuk sekolah di SMA Bhineka Nusantara. Awalnya agak heran, tau dari mana dia sekolah itu? Dan kenapa harus sekolah itu? Tapi, setelah Chia cerita kalau kalian sekarang udah jadian. Ya, Tante sama Om tau jawabannya," sahut Dewa ikut menerangkan.
Seulas senyum lebar di bibir Bima mengembang begitu saja. Jantungnya berdebar tidak karuan.
Chia bersekolah di SMA Bhineka Nusantara karenanya?
Chia ke Jakarta deminya?
Tidak tahan lagi, Bima tersenyum gemas. Kini, pikirannya hanya tertuju pada Chia. Ke mana kekasihnya itu berada?
Bima sangat ingin melampiaskan rasa bahagianya cepat-cepat.
--
Bismillah ramaaai ❤
![](https://img.wattpad.com/cover/369653360-288-k592974.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY CUTE CHIA (ON GOING)
Teen FictionJatuh cinta kepada sesosok wanita maya yang tidak di ketahui identitas dan wajah aslinya. Apakah itu normal? - Start 2024 Update kalau inget ya hihi Mari support aku ya, gais :-)