14

32 3 1
                                    

14

Chia, Anjani, Erika dan seluruh staff SMA Bhinekha Nusantara balik badan serentak setelah upacara bendera hari senin dibebaskan oleh pemimpin upacara.

Gegas Anjani menarik pergelangan tangan Chia dan Erika hendak memburu bangku kosong di kantin, takut kehabisan. Namun, terhenti ketika satu ketua geng menghalangi mereka dengan tiga antek-anteknya memasang mimik muka garang. Sontak Anjani berhenti.

"Lo!" tunjuk sang leader ke arah Chia. Cewek berponi. Lisa namanya. Dia melangkah lebih dekat. "Grachia Arkananta," ejanya melihat name tag di sisi kiri dada Chia.

Spontan Erika dan Anjani saling melempar tatap. Keduanya mengerti keadaan. Tahu betul siapa sosok kakak kelas di hadapan.

"Bukan siapa-siapanya Bima, kan?" tanya Lisa.

Chia masih bungkam.

"Apapun itu, nggak ada urusan sama lo!" sarkas Anjani, tidak ingin berseteru lebih lanjut. Digeretnya Chia dan Erika bersamaan. Meninggalkan lapangan.

Sayangnya gagal. Edlyn lebih dulu menghempaskan kaitan tangan itu. Membuat Anjani naik pitam.

"Mau lo pada apaan, sih?!" tekan Anjani. "Jangan sementang kakak kelas, terus semena-mena sama kita yang masih junior!"

"Lo nggak usah ikut campur!" Didorong Edlyn jidat Anjani.

"Setan lo! Ini kepala udah difitrahin bokap gue susah-susah. Dan dengan tidak tau dirinya lo malah menodani wajah gue pake tangan lucnut itu!" seru Anjani berapi-api. Diusapnya berkali-kali jidatnya. Merasa jijik.

Erika maju selangkah sambil bersedakap dada tanpa memedulikan orang-orang di sekitar yang menjadikan mereka bahan tontonan.

"Gue diem dari tadi. Karena gue pikir one by one ternyata keroyokan. Geng sialan!" maki Erika dengan suara tenang, tapi penuh penekanan. "Target lo Chia, kan? Nih Ambil," sambungnya mendorong tubuh Chia agar berada di paling depan.

Anjani yang tidak mengerti arah rencana Erika membelalak kaget. Pasalnya dia dari tadi ingin melindungi temannya, dan barusan Erika malah menyerahkan.

"Kita di sini aja." Ditariknya Anjani sedikit menjauh.

Ke-empat gadis yang mencoba mengusik adik kelas itu hanya diam. Kebingungan. Kenapa Erika malah mempermudah semuanya?

"Silahkan kalau mau apa-apain Chia!" teriak Erika. "Silahkan! Gue jadi video grafer buat kalian. Biar viral!" ucapnya sembari mengacungkan ponsel. Siap merekam apa sajayang akan diperbuat mereka.

Anjani yang sempat panik. Langsung menangkap ide brilian yang dimaksud Erika.

"Silahkan Kakak-kakak senior yang mau ngeroyok junior!" timpal Anjani. "Tapi inget ya. Negara Indonesia adalah negara hukum. Kalian bisa kena undang-undang kekerasan dengan pidana yang setimpal. Kalaupun bisa keluar pakai uang, tapi harga diri udah mati. Tolong pikirkan lagi. Jangan macam-macam. Juga jangan bego, ups!" Sengaja Anjani mengeraskan suara, lalu menutup mulut diakhir kalimat seakan sindirannya adalah sebuah ketidaksengajaan.

Terkepal kuat buku-buku tangan Lisa. Dia merasa dipermainkan sekaligus diperlakukan di depan umum. Niatnya ingin menggertak Chia sebagai peringatan agar tidak lagi berani mendekati Bima. Namun malah dia yang kena batunya.  Tanpa pikir panjang, langsung saja Lisa dan tiga temannya memilih pergi tanpa permisi.

Chia mengusap dadanya yang berdetak kencang. "Nyaris aja gue mati," gumamnya sedikit lega.

Setengah berlari Anjani dan Erika merangkul bahu Chia. "Tenang ada kita," ucap mereka berbarengan.

"Thanks, ya, bestie!" Chia menangkup masing-masing pipi temannya dengan begitu gemas.

--

Berita tentang pertengkaran sehabis upacara itu terdengar sampai ke telinga Bima. Dia mendapat kabar dari group kelasnya yang cukup gempar. Chia benar-benar membuatnya khawatir. Pasalnya Bima paham betul bagaimana cara Lisa memberantas setiap gadis yang mencoba mendekatinya. Satu pun tidak ada yang berani maju kalau lawannya seganas cewek itu.

Bima seharian full tidak bisa menemui Chia. Karena panggilan dadakan sang papa yang mengharuskannya ke rumah membuat Bima terpaksa izin sekolah. Handphone-nya pun mati total dan tidak sempat membawa charger.  Seolah pintu komunikasinya untuk Chia diboikot takdir. Bima merasa frustasi sekarang. Dia turun dari mobil, berjalan tergesa menuju lift. Pokoknya dia harus segera mengisi daya ponsel agar mudah mengetahui keadaan gadis tersebut.

Langkah terburu-burunya terhenti saat melihat seorang gadis berdress maroon sedang berjongkok depan pintu. Sesekali tangannya mengetuk-ngetuk benda berbahan kaca tersebut.

Seulas senyum mengembang. Hilang sudah gundah gulana Bima jika sudah melihat Chia yang tampak baik-baik saja. Gegas kakinya melangkah cepat, lalu ikut duduk di belakang Chia.

"Ngapain?" tanyanya.

Kontan saja Chia menoleh sambil melotot kaget. "Bimaaaa!" Serunya sembari menepuk bahu Bima dua kali meluapkan kekesalnya.

Bima tertawa, lantas kedua tangannya membimbing pundak Chia agar ikut bangkit. "Nunggu berapa lama?"

Chia melirik jam di pergelangan tangan. "Tiga jam deh kayanya. Soalnya tadi aku pulang jam dua, dan sekarang udah jam lima lewat," jelasnya sambil memanyunkan bibir.

Sungguh Bima gemas bukan main, diacaknya puncak kepala Chia. "Kenapa nggak masuk aja? Kan kamu tau pasword-nya."

Kepala Chia menggeleng. "Males, ah. Nggak sopan," balasnya. "Lagian kamu sih. Di cariin di sekolah nggak ada. Dichat nggak bales. Ditelpon nggak aktif. Terus aku tungguin di sini sampe garing juga nggak nongol-nongol. Ke mana aja sih? Sibuk banget kayanya."

Bima terkekeh geli. Dia bemar-benar menyukai Chia yang banyak bicara. "Oke, maaf. Nanti aku jelasin, ya. Kita masuk dulu."

Tangan Bima memencet beberapa digit angka di monitor, lalu keduanya masuk setelah pintu terbuka lebar. Bima mengajak Chia duduk di sofa seperti biasa.

"Kamu suka salad, kan?" tanya Chia sembari membuka tas gendong mininya yang hanya disampirkan di pundak.

Bima mengangguk antusias. Betapa bahagianya ketika Chia mengingat hal yang menjadi favorite-nya.

"Aku bikin sendiri lho," sambung Chia semangat sembari meletakkan sekotak mika sedang itu di meja.

Baru Bima hendak menyomotnya, tapi tidak jadi sebab Chia lebih dulu menginterupsi.

"Mandi dulu kamunya," suruh Chia.

Pasrah. Bima menurut begitu saja. Namun sebelum berlari masuk kamar mandi dia berhasil mencuri satu ciuman di pipi kanan Chia yang membuat sang empunya berteriak murka.

"Bimaaaaaaaaa, ih!!!" Diusap Chia sangat kasar pipinya.

Bima gila. Kan Chia jadi melting akut.

"Kenapa sih semua hal pertama harus sama Bima?" tanyanya pada diri sendiri. "Sleepcall sama Bima. Dipeluk cowok selain keluarga juga Bima duluan, dan sekarang dicium Bima. Bener-bener ya Bima nih! Awas aja nggak tanggung jawab!" gerutu Chia teramat dongkol.

"Hamil, Sayang?" Wajah Bima menyembul dari ambang pintu sambil terkekeh geli.

Sungguh wajah menyebalkan itu. Chia tidak ingin melihatnya. Kaki Chia menghentak berkali-kali sebelum akhirnya memilih merebahkan diri di sofa dengan keadaan memunggungi kamar Bima.

"Chia jangan mancing," peringat Bima.

Segera Chia menyumpal telinganya dengan kedua tangan. "Aku nggak denger pokoknya!" sentaknya.

Alih-alih marah, Bima makin tertawa lebar.

--

---

Part selanjutnya ....

Keppo, nggak?

Keppolah masa, enggak? 😆

MY CUTE CHIA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang