Dua bulan lebih Bima dan Chia berinteraki cukup intens. Keduanya kerap kali teleponan, membicarakan segala macam hal. Bima dengan sejuta harapan agar Chia menemuinya tahun depan, dan Chia justru biasa saja. Kadang Chia merasa bosan karena Bima terus membongkar privasinya sendiri. Padahal gadis itu tidak peduli sama sekali, kalaupun dia akan menetap di Jakarta. Belum tentu juga akan satu kawasan sama Bima. Jakartakan begitu luas. Ada Barat, Timur, Selatan, dan Utara. Jadi, buat apa dia terus dekat jika masalah tugas-tugas sekolah tidak lagi dibahas.
Seperti tiga hari belakangan. Chia sengaja tidak membuka akun fake-nya. Dia mencoba menghindar. Bagaimana pun Bima itu hanya maya yang mustahil jadi nyata.
Sementara Bima dunianya hanya dipusatkan seputar Chia saja. Sekarang pun dia tengah kalang-kabut karena inbox-nya yang berderet itu tidak kunjung dibalas, dibaca saja tidak.
Bima mendesah kesal. Ponsel dilempar ke sembarang arah demi meluapkan emosinya yang menggebu-gebu.
Hening menyelimuti appartement itu.
Bima menarik lututnya sampai menempel perut, lalu wajahnya tertunduk lesu. Perkenalan media sosial memang sangat bahaya. Bila sudah nyaman pada satu orang meski tahu betul sekadar virtual, tapi sesaknya sampe ke tulang-tulang.
Harusnya di hari minggu sore begini. Bima ada rapat rutin bersama anggota OSIS yang lain di aula, tapi dia membolos untuk pertama kalinya. Tanpa kabar. Semua itu sebab ... Chia.
Dunianya benar-benar sedang jungkir balik. Mamah yang makin hari makin menuntut hal-hal yang aneh. Papah dan Ibu tirinya sibuk dengan keluarga baru mereka. Ditambah hadirnya Jeha dan Lisa yang makin memporak-porandakan ketenangan hidupnya. Sungguh untuk saat ini. Bima hanya butuh Chia seorang. Walau wujud aslinya Bima tidak pernah tahu secuil pun. Namun setidaknya, Bima bisa merasakan senyum dan tawa bahagia ketika bertukar cerita bersama gadis desanya.
"Chia ...." Bima bergumam pelan. Jauh dilubuk hati terdalam dia sangat merindukan anak SMP yang entah di mana keberadaannya itu.
--
"Nggak gitu juga, Chiaaa!" Dipukul Dita lengan Chia.
Chia mengerucutkan bibir. Padahalkan dia hanya ingin makan mie goreng itu segera, tapi malah dimarah-marah. Salah siapa dirumah Dita sendok pada hilang. Kan Chia inisiatif memakai tangan. Apa yang salah, coba?
"Yang tau tempat naro peralatan makan itu Ibukku. Tapi, biasanya dirak piring ada kok. Cuman entah ke mana sekarang," jelas Dita terheran-heran, matanya menyapu sekitaran mencari seperangkat sendok garpu itu diletakkan.
"Helleh!" Chia mengibas tangannya. "Bilang aja kamu nggak pernah beres-beres di dapur, kan? Dih ketauan." Dilipat tangannya ke dada menatap Dita penuh ledekan.
"Eh, sembarangan!" Telunjuk Dita meninju pipi Chia.
"Kaaasaaar, ih!" pekik Chia sambil mengusap-usap seluruh bagian wajahnya tanpa terkecuali.
Dita yang tidak ingin terus dipojokkan, memilih pergi membawa sepiring mie dan segelas es teh manis karya mereka masing-masing ke ruang tamu.
"Kurang ajar emang! Aku lagi ngomong malah ditinggalin! Woy!" Cepat Chia menyambar makanannya di meja, lantas tunggang langgang mengejar Dita yang menjulukan lidah berkali-kali sambil menengok ke belakang.
--
Gelap.
Ruangan cukup besar itu tidak memiliki penerangan sama sekali. Lampunya sempurna mati. Appartement dengan dua kamar, satu ruang tamu, dan satu kamar mandi itu tampak hening seolah tidak berpenghungi. Padahal ada pemiliknya di sana. Bima. Dia meringkuk di balkon menatap gulitanya angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY CUTE CHIA (ON GOING)
Teen FictionJatuh cinta kepada sesosok wanita maya yang tidak di ketahui identitas dan wajah aslinya. Apakah itu normal? - Start 2024 Update kalau inget ya hihi Mari support aku ya, gais :-)